Kamis, 08 Desember 2011

NAFSU MANUSIA

NAFSU MANUSIA

Manusia dan Ragam Nafsunya

Nafsu pada diri manusia beragam. Ada nafsu baik (taqwa), ada pula yang buruk (fujur). Nafsu yang fujur adalah nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat. Sedang nafsu yang baik adalah nafsu sawwiyah, muthmainah, radhiyah dan mardhiyah. Seperti apa kongkretnya?

NAFSU ammarah mencakup sifat-sifat ath’imah (banyak makan), asyrabah (banyak minum), naawaĆ¢-im (banyak tidur) dan jimaa’ (senggama yang berlebihan). Nafsu lawwamah meliputi sifat-sifat ghadab, ghibah, namimah, hasud, ‘ujub, takabur, riya’, cinta dunia, harta dan tahta. Nafsu lawwamah disebut juga nafsu setan yang selalu mengajak berbuat keji.

Sedang nafsu sawwalat meliputi sifat–sifat kasal, futur, malal, sum’ah dan hijab. Nafsu sawwalat identik dengan sifat Iblis. Sebab nafsu jenis ini selalu mengguncang akidah orang yang sedang meniti syari’at Islam.
Tiga nafsu tersebut adalah fujur alias buruk. Yakni: jiwa yang diilhami kekejian. Sifat-sifatnya disebut madzmumah (sifat yang tercela).

Sedang nafsu yang menghiasi tujuh anggota sujud manusia dengan akhlak mahmudah (yang terpuji) adalah nafsu sawiyyah dan nafsu muthmainnah.

Nafsu sawwiyah terdiri atas sifat khauf, taqwa, raja’, zuhud, tawadhu, shabar, syukur, mahabbah, ridha, tawakal dan ikhlas. Nafsu muthmainnah berbusana arif billah, arif linafsih, dan berdiam pada mahligai khalifah fiil ardh.

Adapun nafsu Radhiyah dan Mardhiyah disebut juga nafsu “lathifatur rabaniyah”: nafsu ketuhanan yang amat halus dan lembut, meliputi ruh insan kamil (manusia yang sempurna).
Tujuh nafsu itulah yang mendominasi gerak langkah manusia. Hal itu tercermin pada watak atau tabiatnya. Apabila salah satu nafsu sedang melancarkan aksinya maka watak manusia akan mencerminkan sifat nafsu tersebut.
Misalnya, ketika jiwa manusia dikuasai nafsu amarah, maka gerak hidupnya seperti binatang. Ia selalu cenderung berbuat maksiat. Baik maksiat lahir maupun batin.

Allah menjelaskan tentang nafsu amarah dalam firmanNya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (amarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf, 53).
Jika jiwa seseorang dikuasai nafsu lawwamah, maka watak dan kepribadiannya akan terhiasi kefasikan dan penyesalan. Ia akan sering melakukan perbuatan nista, kemudian disusul dengan taubat dan penyesalan. Tetapi hal itu terus berulang. “Dan Aku bersumpah dengan jiwa (nafsu) yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al Qiyamah, 2)

Apabila seseorang sedang dikuasai nafsu sawwalat maka ia akan merasa malas, jenuh dan bosan dalam menjalankan syariat Islam. Langkah ibadah orang tersebut ahmak (rusak), karena perbuatan buruk dipandang baik menurut persepsinya. “Ya’kub berkata: Hanya dirimu sendirilah yang menganggap baik perbuatan (buruk) itu”. (QS. Yusuf, 83)

Nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat sebagaimana telah diurai di atas, termasuk golongan nafsu yang batil. Maka itu: “Matikanlah dirimu (nafsumu) sebelum datang kematian (ajal) kepadamu.”
Sedang nafsu Sawwiyah disebut juga nafsu Malaikat, merupakan generator perbuatan yang terpuji. Kepada nafsu sawwiyah, Allah mengilhamkan ketaqwaan dan kebersihan yang senantiasa menyelimutinya. ”Dan jiwa (nafsu) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan.” (QS. Asy Syams, 7 & 8)

Adapun nafsu Muthmainah adalah jiwa yang tenang. Nafsu inilah hakikat manusia dan hamba Allah. Hanya nafsu Muthmainah yang dipanggil oleh Allah dan berhak menjadi hamba Allah serta mendapat prioritas untuk memasuki jannah-Nya. “Hai jiwa yang tenang (nafsu Muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr, 27-30)

Maka dapatlah dimengerti bahwa gerak dan sifat manusia merupakan cerminan nafsu-nafsu yang menguasainya. Apabila sifat nafsu sedang gairah terhadap suatu yang didengar, dilihat, diraba serta dirasakan, maka akal berfungsi untuk mempertimbangkan kehendak nafsu tersebut. Sedang keberadaan hati bertindak memutuskan masalah kehendak nafsu atas dasar pertimbangan akal.

Gerakan tujuh anggota sujud sebagai pelaksanaan kehendak nafsu, apakah tampak baik atau buruk, tergantung pada pertimbangan akal dan kebijakan hati tatkala memutuskannya. Dengan kata lain, baik dan buruk akhlak tujuh anggota sujud seseorang tergantung kepada pertimbangan akal yang diperkuat oleh keputusan hati sebagai rajanya. “Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada terdapat segumpal daging. Apabila ia baik niscaya jadi baiklah seluruh (organ) tubuhnya dan apabila ia buruk niscaya jadilah seluruh tubuhnya buruk. Ketahuilah! Bahwa itu adalah hati.” (HR Bukhari Muslim)

Sumber: Mursyid Akmaliah

Nafsu Ammarah:
Obat dan Cara Menjinakkannya

Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara harfiah amarah berarti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa. Seperti apa wujudnya dalam tingkah laku sehari-hari?

NAFSU ammarah acap mengajak akal-pikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya dengan iming-iming yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’ secara berlebihan.

Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53).

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179).

Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan citraan yang lebih kontras: bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas). Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan hal-hal yang serba berlebihan, yang tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu). Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam.

Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperan sebagai pemelihara hidup jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia. Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah juga berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di dunia.

Budak Dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia, maka jadilah ia sebagai orang yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.

Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.

Tentang hal ini, ada hadist berbunyi: “Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepada-mu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari Ibnu Mas’ud).

Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana. Dengan nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”. Ada rasa tidak puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.

Allah berfirman: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan, 14).

Atau pada firman yang lain: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-senarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’, 35).

Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah berbusana bahimiyyah itu identik dengan laku hidup binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana bahimiyyah laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.

Dalam kaitan nafsu ammarah berbusana bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.

Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas dari norma-norma syari’at Islam. Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya sendiri”.

Allah berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Israa’ Ayat 27).

Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan. Sesuai dengan firman Allah: “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31).

Atau menurut Hadist Rasulullah SAW: “Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk urusan makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab utamanya adalah berlebihan dalam soal porsi makan dan minum. Sebab, perut biasanya sumber penyakit dan seburuk-buruk tempat.

Ada hadist yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini: “Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya ia acap berlaku seperti binatang buas.

Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat memprihatinkan. Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat menata si miskin. Dengan harta, mereka merasa terhormat kendati berbuat nista dan maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?

Allah berfirman: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28).

Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus dipahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sebatas kesenangan di dalam hidup yang fana.

Firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, 14)

Al Qur’an: Obat Mujarab
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah bersifat bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya frekuensinya yang berbeda. Maka itu, upaya mengendalikan ruang gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai ikhtiar untuk mencapai kemuliaan rohaniah.

Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai penawar yang sangat mujarab terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan Al Qur’an juga menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan orang yang zalim. Sebagaimana firman-Nya: “Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82).

Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Yaitu:
 (1) ilmu ma’rifah;
(2) dzikrullah yang kontinyu, dan
(3) mujahadah.

Berkaitan ilmu ma’rifah, hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama alias Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid. Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir-batin. Jika orang telah mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan mudah tertipu oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya dan pandai menipu adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu fujur (jiwa fasik) alias nafsu ammarah.

Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah tergiur oleh bujuk rayu setan. Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri. Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8).

Dzikrullah yang kontinyu juga merupakan sarana pembersih jiwa. Sesuai dengan firman (?) Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)”. (QS. Al A’laa, 14-15).

Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus menerus.

Dan sebaik-baik dzikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah). Hal itu harus dilakukan terus menerus. “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32).

Cara lain: dengan cara mujahadah. Artinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.

Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan dzikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat kejahatan. Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya tampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.

Tentang hal ini Allah pun berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3).

Tiga tahapan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan zikir. Atau mengamalkan salah satu diantara ketiganya.

Sumber: Mursyid Akmaliah

Nafsu Lawwamah


Manusia yang jiwanya telah dikuasai nafsu lawwamah, sifat dan perbuatannya luput dari rasa malu untuk berbuat berbagai kemaksiatan. “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh (mengajak) kamu berbuat jahat dan keji”. (QS. Albaqarah, 169)


Nafsu lawwamah adalah jiwa manusia yang membentuk sikap dan kepribadian. Nafsu lawwamah bersemayam dalam diri manusia setelah melalui proses persenyawaan zat-zat asli kotoran setan yang dinamakan  ananiah (egois/ke-aku-an). Ananiah itu  sendiri terjadi melalui proses persenyawaan zat-zat wahmiyah (angan-angan),  zhinaanah   (tuduhan), karahiyah   (kebencian) dan  akhliyah (khayalan). Zat-zat tersebut bersenyawa dengan zat “makar” (rencana jahat), yang kemudian membentuk zat asli kotoran setan yang disebut dengan “Ananiah”. Berikutnya,  Nur gharizah (naluri) memancarkan cahaya yang kekuatannya mampu merubah wujud ananiah menjadi sikap dan karakter manusia. Karena nur gharizah itu sangat kuat menggempur ananiah, maka terjadilah proses yang menyebabkan perubahan pada wujud ananiah hingga menjadi sosok “nafsu lawwamah”.

Nafsu lawwamah sendiri terdiri atas sifat-sifat  ghadhab (pemarah), ghibah (suka membicarakan aib saudaranya atau orang lain), namimah (suka membuat fitnah), hasud (iri hati alias dengki), ‘ujub (heran diri tanpa disandarkan kepada Allah), takabur (sombong), riya’ (beramal bukan karena Allah), hubbud dunya (cinta dunia),  hubbul maal (cinta harta benda) dan hubbul jaah (cinta tahta).

Jiwa manusia yang telah dipengaruhi nafsu lawwamah, selalu mengajak untuk berangan-angan tentang piranti kehidupan yang berkisar pada tahta, harta dan wanita (baca: pasangan hidup) yang berangkat dari kebutuhan diri dan tanggung jawab keluarga. Tuntutan semacam itu menambah kerasnya kemauan untuk mendapatkan sarana kehidupan duniawi yang serba mewah. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”(QS. Ali Imran, 14)

Akibat lain adalah munculnya sifat dan perbuatan yang cenderung nista, jahat dan fasik.”Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh (mengajak) kamu berbuat jahat dan keji”. (QS. Albaqarah, 169)

Nafsu lawwamah bekerja dengan mempengaruhi akal, menjalar ke perkataan (dusta), mengingkari janji, menghianati amanat yang dipikulnya, dan sangat jahat bila bermusuhan dengan teman.

Manusia yang berjiwa lawwamah mempunyai ciri-ciri sama dengan ciri dan perbuatan setan. Salah satunya, apabila berbuat jahat, keji atau maksiat akan menyesal, namun kembali mengulangi perbuatan tersebut.

“Empat perkara, barangsiapa terdapat pada dirinya lengkap keempatnya,  itulah dia sesungguhnya orang munafik. Dan barang siapa terdapat padanya satu perkara saja, maka ia termasuk munafik juga, hingga ditinggalkannya sifat munafik itu; apabila dipercaya dia khianat; apabila berkata dia dusta; apabila berjanji, dia mungkir; dan apabila bermusuhan, dia sangat jahat”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash ra.)

Sifat Setan
Apabila nafsu lawwamah telah menguasai diri, akan membuat seseorang menjadi labil dalam menempuh perjalanan menuju Allah. Langkahnya tergesa-gesa dan kurang perhitungan dalam menentukan sikap hidup, sehingga menimbulkan penyesalan.

Nafsu lawwamah juga mengebiri akal dan pikir (hati), mengelabui pandangan, menutup pendengaran dan  memanipulasi perkataan sehingga mereka tidak mampu bersyukur dalam arti yang sesungguhnya. Padahal Allah menjadikan pendengaran, penglihatan, akal dan hati untuk manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya.

“Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”.(Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur”. (QS. Al-Mulk, 23)

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya). Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dan kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at)”. (QS. Al-A’raaf,  16-17)

Setan dan Iblis
Iblis dan Setan adalah satu rumpun. Keduanya adalah nama atau predikat bagi manusia dan jin yang tidak bersyukur kepada Allah. Tidak ada yang patuh dan tunduk pada perintah iblis, kecuali setan. Bila ia menyelinap dalam angan piker seorang  pejabat, akan membuatnya ketakutan kehilangan karier dan kedudukannya dijatuhkan orang. Bisa pula membangkitkan angan-angan kosong dan mudah curiga pada sesama. Kebijakan yang dikeluarkannya juga  bagaikan pisau bermata satu, tajam kebawah namun tumpul keatas.

Lain lagi gaya  setan ketika menggoda seorang hartawan. Yaitu munculnya ketakutan akan bayangan kemiskinan yang dapat menimpa dan juga membuatnya malas  mengeluarkan zakat dan sodakoh. Sifat bakhil (kikir) mewarnai hidupnya, sehingga enggan menyantuni anak yatim dan fakir-miskin. Yang berkecamuk dalam benaknya hanya pikiran tentang kesejahteraan diri, keluarga dan saudara serta kerabat kandungnya. Dan bila ia mengalir dalam pembuluh darah kaum wanita, niscaya merobek-robek setiap jengkal pakaiannya, mengumbar tubuhnya yang terlarang dan membisikan kata-kata merdu untuk berbuat nista.

Setan juga menggelitik jiwa orang miskin dengan kesibukan membandingkan hidupnya yang berkekurangan dengan mereka yang kaya, sehingga mendorong untuk berbuat jahat dengan mengambil hak orang lain. Setanpun mempengaruhi manusia dengan tipu-dayanya yang memabukkan, menyeret manusia kelembah kesesatan, dan menjauhkannya dari rahmat Allah.

“Dan Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. Annisaa, 60)
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. Annisaa, 120)
“Kalau tidak karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebahagian kecil saja (diantaramu)”.(QS. Annisaa, 83)

Disatu sisi setan tidak pernah jemu dan bosan menggoda dan menyesatkan, namun disisi lain ia akan segera meninggalkan korbannya yang telah mengikuti ajakannya. Wujud setan dapat berubah-ubah sebagaimana manusia yang sifatnya juga berubah-ubah. Dan apabila ia telah bersemayam dalam jiwa manusia, niscaya yang lahir pada manusia tersebut adalah perbuatan keji dan mungkar.

Wujud keberadaan setan sulit diketahui oleh orang yang hidupnya selalu disibukkan dengan urusan dunia,  dan oleh orang yang tidak menganggap setan sebagai musuh. Biasanya setan membisikan godaannya dengan memutar-balikan hukum-hukum Islam. Perbuatan jahat dikatakan baik, perbuatan baik dikatakan jahat. Sesuatu yang bathil menjadi hak, dan sebaliknya. Begitu seterusnya. Membuat manusia bimbang dalam memutuskan sesuatu menyangkut urusan akidah dan amal ibadah, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum kemaslahatan. Demikianlah sifat setan dari jenis jin dan manusia yang sangat nyata tipu dayanya serta menjadi musuh orang-orang yang beriman.

“Dan demikian Kami  jadikan tiap-tiap nabi  itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (Manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’aam, 112)

Setan itu pada dasarnya ada. Hanya saja keberadaan setan itu abstrak dan gaib dari penglihatan orang-orang yang belum mengetahui dan mengenal hakikat setan. Bila kita mau mencari dan memahami “apa itu setan”, niscaya akan menemukan sosok setan pada sebuah sifat bagi wujud makhluk dimensi alam nyata yaitu “manusia” dan wujud makhluk dimensi alam gaib yaitu “jin”. Yang selalu menentang perintah-perintah dan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah.

Ironisnya di zaman sekarang, sebagian manusia tidak mengetahui dan mengenal hakikat setan yang menjadi musuh manusia (khususnya orang-orang yang beriman). Permusuhan antara manusia dengan setan diawali semenjak zaman syurgawi hingga duniawi. Kini dan yang akan datang setan bertekad untuk menyesatkan manusia. Ia datang dan pergi mengenakan busana tipudaya dengan menaburkan aroma syahwat kehidupan duniawi.

Perlu digaris-bawahi, setan itu bukanlah sebangsa “roh gentayangan” atau “dedemit”, tetapi yang sebenarnya adalah moral manusia dan jin. Karena nama tersebut hanyalah mensifati perbuatan makhluk dari golongan bangsa manusia dan bangsa jin. Dua golongan makhluk yang menyandang predikat setan itu disebabkan perbuatannya melanggar hukum yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Apakah layak mereka disebut setan? Jika tidak, maka dapat kita tarik kesimpulan: bahwa predikat yang diberikan kepada mereka itu hanyalah kiasan dan pengertian dari “setan golongan manusia”, bukan setan yang sesungguhnya sebagaimana yang dibayangkan wujud dan bentuknya yang seram.

Dengan demikian ada nama-nama setan dari golongan manusia dan dari golongan jin. Syaithanul insi adalah predikat setan dari bangsa manusia, antara lain: musyrikun (orang-orang yang menyekutukan Allah);  kafirun (orang-orang yang mengingkari Allah);  zhalimun (orang-orang yang aniaya);  fasiqun (orang-orang yang keluar dari jalan yang benar); munafiqun (orang-orang yang munafiq, penipu dan berpura-pura) dan murtadun (orang-orang yang keluar dari agama Islam). Sedangkan syaithanul jin merupakan predikat setan dari bangsa jin, yaitu iblis (bangsa jin yang ingkar kepada Allah) dan  thoghut (bangsa jin yang melampaui batas atau aniaya ).

Tidak disebut setan, baik dari golongan manusia atau jin, kecuali melanggar ketentuan hukum-hukum Islam yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mari perhatikan beberapa firman Allah yang menerangkan hakikat setan:

“Katakanlah: Aku berlindung kepada tuhan manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) yang biasa bersembunyi, yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia”. (QS. Annaas, 1-6)

“Dan demikian Kami  jadikan tiap-tiap nabi  itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (Manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’aam, 112)

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(QS. Ali Imraan, 175)

Dari firman Allah tersebut jelas bahwa yang namanya setan bukan hanya dari golongan jin saja, tetapi juga dari golongan manusia.
Perlu dilengkapi disini bahwa setan juga bukan semacam roh gentayangan yang selalu menakut-nakuti manusia ditempat-tempat yang dianggap angker. Setan ialah nama bagi mereka yang berbuat kejahatan dan kemaksiatan. Minum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala atau sesajen, mengundi nasib dan merupakan perbuatan setan. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu dapat keberuntungan”. (QS. Al Maaidah, 90)
Firman Allah tersebut menambah jelas tentang hakikat setan.  “Apabila memang benar bahwa setan itu adalah sebangsa roh halus yang suka gentayangan dan bertempat ditempat-tempat yang dianggap angker, maka siapakah yang sebenarnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk selain Allah, dan mengundi nasib?” Jawabannya, “syaithanul insi” (setan dari golongan manusia).

Pada dasarnya setiap manusia dapat berubah sifatnya menjadi sifat setan. Hakikat setan dari golongan manusia ialah orang-orang musyrik, kafir, zalim, fasiq, munafik dan orang yang murtad. Mereka disebut setan dalam masalah keyakinan, sifat, sikap dan perbuatan. Sebagaimana pada masa syurgawi, predikat iblis disandangkan kepada abuljan (bapak jin) yang juga disebut  sayidul malaikat (penghulu malaikat). Abuljan disebut iblis karena melanggar dan menentang perintah Allah tatkala disuruh sujud kepada Nabi Adam as.

Sifat dan perbuatan setan dari jenis manusia antara lain adalah mananamkan kebencian, dendam, dan menimbulkan permusuhan diantara sesama hingga diakhiri dengan saling bunuh, baik dalam arti yang sebenarnya maupun kiasan. Manusia setan itulah yang selalu menimbulkan kedengkian terhadap saudara, tetangga sebelah, teman dan masyarakat hingga timbul fitnah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan ummat.

Salah satu penunjang kemaksiatan yang digunakan setan manusia ialah harta. Harta yang menjadi alat utama setan untuk merayu manusia. Kemudian, setan menyuruh manusia untuk berbuat kikir, berlebihan dalam mempergunakan harta, boros dan menghambur-hamburkan hartanya dijalan setan. Padahal pemboros adalah saudara setan yang selalu ingkar kepada tuhannya.

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Israa,  Ayat 27)

Maka, apakah  patut bagi manusia yang mempunyai derajat sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya berteman dan bergaul dengan setan-setan yang berderajat rendah dan hina dari sekian banyak makhluk ciptaan-Nya? Hanya orang-orang yang beriman yang menjadikan setan-setan itu sebagai musuh. Mereka tidak memberi kesempatan kepada setan untuk masuk dan singgah ke dalam jiwanya. Karena orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa tidaklah setan mengambil teman melainkan dari bangsanya sendiri. Setan adalah seburuk-buruk teman. Dan hanya manusia yang bermoral rendah yang menjadikan setan-setan sebagai pelindung-pelidung selain Allah. Apakah manusia tidak mengetahui bahwa setan itu adalah salah satu makhluk yang sangat rendah derajatnya disisi Allah.

“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah setan yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Albaqarah, 257)

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak segolongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”  (QS. Faathir, 6)

 “Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya”.  (QS. Annisaa, 38).

 Sumber: Mursyid Akmaliah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar