Kamis, 08 Desember 2011

HIJAB

Menelusuri Makna Hijab

Wilayah penting dalam kajian tauhid dan hakikat adalah bahasan tentang hijab. Karena hijab dengan segala bentuk dan ragamnya adalah penghalang menuju Allah. Selama ini uraian tentang hijab kerap diambil dari sisi lahiriah (fiqih) saja. Padahal substansi utama hijab itu meliputi sisi batiniah.

Istilah hijab
Menurut bahasa, hijab berarti tirai atau pemisah (saatir atau faasil). Al Quran menyatakan: "Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka." (Al Ahzab: 53). Hijab dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada di rumah Nabi saw, yang berfungsi sebagai sarana penghalang atau pemisah antara laki-laki dan perempuan, agar mereka tidak saling memandang.

Hijab berasal dari akar kata h-j-b; bentuk verbalnya (fi'il) adalah hajaba, yang diterjemahkan dengan "menutup, menyendirikan, memasang tirai, menyembunyikan, membentuk pemisahan, hingga memakai topeng."

Selanjutnya hijab diterjemahkan menjadi "tutup, bungkus, tirai, cadar, layar, dan partisi." Bahkan terdapat kata yang sama namun merujuk pada makna jimat-jimat yang dibawa orang (biasanya anak-anak kecil) untuk melindungi diri dari bahaya. Derivatif lain dari kata Hijab adalah hajib, berarti alis mata atau pelindung mata dan juga merupakan kata yang dipakai selama periode kekhalifahan untuk para pejabat yang menyeleksi para pendatang yang ingin bertemu dengan khalifah.

Hijab dalam perkembangan maknanya, menjadi satu istilah untuk pakaian wanita yang menutupi aurat. Burqu, 'abayah, tarhah, burnus, jellabah, hayik, milayah, gallabiyah, disydasya, gargush gina', mungub, listma, yaskhmik, habarah, izar, adalah nama-nama dari penutup aurat. Beberapa di antara nama-nama tadi merujuk kepada penutup muka saja, seperti, qina', burqu', niqab, litsmah. Sedangkan makna hijab yang lain merujuk kepada penutup kepala saja, yang kadang-kadang digunakan pula untuk menutup sebagian muka, misalnya khimar, sitara, 'abayah, atau imamah. Penutup aurat tersebut di beberapa negara memiliki nama-nama yang berbeda. Burqa atau burqu misalnya, adalah penutup aurat yang biasa dipakai oleh wanita Afghanistan. Sementara wanita Arab Saudi menggunakan hijab dengan nama Abbayah. Chador dipakai oleh wanita Iraq dan Iran (sangat mirip dengan Abbayah). Kemudian Ruband dipakai wanita Turki di tahun 20 atau 30-an, dan Bushiyyah, hijab yang banyak digunakan saat beribadah haji.

Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, istilah hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Sedangkan hijab dalam pengertian penutup aurat di Indonesia biasa disebut dengan kerudung atau jilbab. Namun meski demikian, semua nama-nama tersebut sama-sama memiliki makna hijab yaitu penutup atau penghalang.

Al Quran banyak menjelaskan kata hijab atau yang berkaitan dengan hijab berikut ragam maknanya. Misalnya pada surat Asy Syuura ayat 51, hijab diartikan dengan tirai:

وَمَاكَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُكَلِّمَهُ اِلاَّ وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَآئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلاً فَيُوْحِىَ بِإِذْنِهِ مَايَشَآءُ اِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ . الشّوري

"Dan tidak ada bagi manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tirai atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."

Sementara pada surat Al Ahzab ayat 53, hijab diartikan tabir:

وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَآءِ حِجَابٍ  ذَالِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ . الاحزاب

"Dan apabila kamu meminta suatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada mereka dari belakang tabir, cara yang demikian itu terlebih suci bagi hatimu dan hati mereka."

Pada surat Fushshilat ayat 5 ketika menyebutkan kata hijab. Pada ayat ini hijab dimaknai dinding.

وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا فِى اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ وَفِى آذَانِنَا وَقْرٌ وَّمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ اِنَّنَا عَامِلُوْنَ

"Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan yang menutupi apa yang kamu serukan kepadanya dan di telinga kamu ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu sesungguhnya kami bekerja pula.”

Dengan makna yang sama, hijab juga dijelaskan pada surat Al Israa’ ayat 45, yaitu "Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup" (Al Israa': 45)

Kemudian hijab juga disebutkan pada surat Al-A'raf ayat 46, kali ini hijab diartikan dengan batas:

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ . الاعراف

"Dan di antara keduanya (ahli syurga dan ahli neraka) terdapat batas."

Bahkan dalam surat Shaad kata hijab diartikan dengan hilang atau lenyap, "Maka ia berkata:

"Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan." (Shaad : 32)

Pengertian hijab yang terurai pada setiap ayat di atas, menjelaskan tentang hijab dari sisi lahiriah (fikih). Sedangkan dalam pembahasan kali ini, Kasyaf mengajak untuk memahami hijab yang dalam perspektif batiniah dan meliputi wilayah-wilayah ruhaniah.

Memahami hijab
Menurut para ahli Tasawuf, hijab diartikan sebagai tirai yang mendindingi antara hamba dengan Allah, sehingga seorang hamba menjadi terhalang dalam memandang-Nya. Dalam hal ini Syekh Abdul Qadir Al Jailani ra. menegaskan pengertian hijab adalah: "Tabir yang menutupi pandangan atau penglihatan manusia". Secara spesifik hijab yang dimaksud adalah menutupi pandangan mata hati. Artinya, apabila hijab menyelimuti hati seseorang, maka mata hatinya menjadi buta, dan ketika seseorang buta mata hatinya, ia tidak mampu menyaksikan hakikat sesuatu, karena kemampuannya hanya sebatas pada pandangan yang lahiriah. Dalam hal ini, Al Quran menjelaskan :

وَمَنْ كَانَ فِى هَذِهِ اَعْمَى فَهُوَ فِى اْلاَخِرَةِ اَعْمَى وَاَضَلُّ سَبِيْلاً . الاسراء

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (Al Israa’: 72)

Mengenai penyebab kebutaan mata hati, Syekh Abdul Qadir Al Jailani ra. menerangkan: "Penyebab buta mata hati seseorang adalah karena mengikuti hawa nafsu dan kebodohan dirinya." Karena itu tidak sedikit orang yang buta mata hatinya, kendatipun secara fisik sehat dan memiliki kecerdasan intelektual.

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى اْلاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَا اَوْ اَذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَا  فَاِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلاَبْصَارَ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِى فِى الصُّدُوْرِ . الحج

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi hingga mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. " (Al Hajj: 46).

Bagi para pejalan menuju Allah, menyingkap hijab menjadi keharusan, karena selama pandangan seorang salikin masih terhijab selama itu pula tidak akan pernah mampu melihat dan menyaksikan Allah.

Namun, menyingkap hijab bagaikan mengupas kulit bawang yang berlapis-lapis. Setelah satu hijab berhasil dibuka, ternyata masih ada lapisan lainnya yang belum terbuka. Karena itu, semakin dalam hijab disibak akan semakin terbentang luas lautan hakikat.

Berbahagialah orang yang berhasil menyingkap hijab. Apabila hijab kegelapan telah tersingkap maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerangi hatinya sehingga segala rahasia ketuhanan akan terbuka melalui penglihatan mata hatinya  bashiratul qalb).
Sumber: Mursyid Akmaliah

Pergulatan Menyibak Hijab

Semua manusia, hakikatnya berjalan menuju Allah. Namun jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah, karena di sana terhampar ribuan hijab yang menghalangi. Untuk itu, dibutuhkan ketangguhan iman dan ilmu agar dapat memenangkan pergulatan demi pergulatan dalam menyibak hijab, sehingga selamat sampai di Mahligai-Nya.

Anugerah terbesar bagi seorang hamba adalah ketika bisa mengenal dan berjumpa dengan Allah. Ketika itu tidak ada lagi istilah predikat hamba dan Tuhan, yang ada adalah ke-Esa-an wujud-Nya. Tetapi untuk bisa berjumpa dengan Allah, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu beramal shaleh dan tidak syirik dalam beribadah walau dengan seorang juapun. Sebagaimana firman-Nya:

 فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَّلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا . الكهف

"Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya maka beramal shaleh dan tidak menyekutukan seorang jua pun dalam ibadahnya." (Al Kahfi: 110).

Dalam mukadimah kitab Ad-Durun Nafis dijelaskan salah satu yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah adalah syirik, baik syirik jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi). Tidak sedikit orang yang syirik dalam menjalankan ibadah, seperti berharap kepada selain Allah, padahal seorang hamba hanya boleh berharap kepada Allah.

Syirik dapat menutup dan membutakan mata hati seseorang hingga terhijab. Akibatnya, seseorang tidak dapat memandang hakikat di balik yang dipandang dan hanya terjebak pada pandangan lahiriah. “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Al Israa': 72).

Buta yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan buta lahiriah melainkan buta secara batiniah, yaitu buta mata hati. Buta mata hati menyebabkan seseorang tidak memiliki kepekaan menangkap tanda-tanda kebesaran Tuhan, sehingga tidak dapat menyaksikan keindahan sifat-sifat Allah yang bertebaran di wilayah ruhani dan duniawi. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (Ali 'Imran: 193).

Syahwat duniawi
Ada dua faktor yang dapat menghijabi hamba dalam memandang Allah, yaitu syahwat duniawi dan syahwat ruhani. Dua syahwat tersebut berpotensi menjadi hijab seseorang, antara lain keinginan untuk meraih derajat dunia dan akhirat. Dunia kaitannya dengan adat tabiat, sedangkan akhirat berkaitan dengan derajat ruhani.

Syahwat duniawi ialah rasa cinta yang berujung ingin memiliki dan menguasai apa saja yang ada di sekeliling kehidupannya. Akibatnya, seluruh ruang hatinya dipenuhi oleh rasa cinta sesuatu hingga lupa kepada Allah. Contohnya: rasa cinta yang tumbuh kepada suami, istri, anak, harta, dan lain sebagainya seperti diisyaratkan dalam firman-Nya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ لنِّسَآءِِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ  ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا  وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ . ال عمران

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali 'Imran: 14).

Ketika seorang suami sangat mencintai istrinya, kemudian dengan cintanya itu sampai lupa memandang Allah, maka perempuan tersebut menjadi hijab bagi suaminya. Selama seorang suami mencintai istri, tidak mungkin mencintai Allah. Begitu juga sebaliknya, seorang istri yang mencintai suaminya, tidak akan bisa mencintai Allah. Sesungguhnya Allah itu pencemburu. Jika ada seorang hamba yang berani mengambil resiko dengan mencintai selain diri-Nya, maka jangan harap akan sampai keharibaan-Nya. Tapi jika suami istri tersebut menerapkan cintanya sesuai dengan kaidah tauhid, yakni sebagai penjabaran dari cintanya kepada Allah, maka cintanya itu tidak menjadi hijab, bahkan bisa menjadi pemicu untuk merobek tirai-tirai Ilahi.

Syahwat ruhani
Di samping syahwat duniawi, ada pula syahwat ruhani yang menjadi hijab. Syahwat ruhani itu bersifat kemegahan dan kenikmatan akhirat, termasuk di dalamnya keinginan untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang ada wilayah ruhaniah. Seperti mendambakan derajat ruhani yang tinggi sampai ma'rifah, mendapat anugerah bisa keluar masuk alam jin, jadi waliyullah yang bisa bertamasya melihat-lihat syurga dan neraka, bahkan ingin jadi orang yang sempurna di wilayah ruhani dan sebagainya. Semua keinginan tersebut, sekalipun baik maksudnya, namun bisa menjadi hijab bagi orang yang sedang menuju Allah. Karena keinginan tersebut merupakan angan-angan yang muncul dari syahwat yang tersembunyi (syahwatul khafiah). Hal itu juga dapat memalingkan perjuangan orang yang menuju Allah.

Cinta & Hijab
Pertama kali Allah menebar hijab adalah ketika Adam as. dan Hawa diciptakan. Dalam hubungan Adam-Hawa itulah mula-mula adanya gambaran jelas tentang hijab. Kemudian contoh perbedaan pendapat antar para Malaikat ketika menyikapi penciptaan manusia. Perbedaan berlanjut di syurga tatkala para Malaikat di perintahkan untuk menghormati Adam as. Ternyata ada Malaikat yang menolak, karena dirinya merasa lebih tinggi derajatnya dari manusia. Ketidakpatuhan Malaikat tersebut akibat terhijab oleh keangkuhannya.

Tidak hanya sampai di situ, ternyata Allah pun memberi rambu-rambu di syurga, tatkala Adam as. dipertemukan dengan Hawa, sebagaimana dibentangkan larangan untuk tidak mendekati sebatang pohon, yang ternyata berbuah khuldi. Pergulatan Adam as. dalam menghadapi larangan Allah, tidaklah ringan. Karena di sana Adam as. diuji cintanya kepada Hawa sekaligus kepatuhannya pada Allah. Sejarah mencatat, ternyata keimanan Adam as. dapat diruntuhkan oleh rasa cintanya kepada Hawa, sehingga ia berani mengambil resiko untuk memetik buah khuldi. Itulah hijab cinta yang ada pada diri Adam as.

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Bahwa mencintai suami atau istri wajib dilandasi oleh kepatuhannya kepada Allah, bukan sebatas cinta yang dipicu oleh syahwat.
Pada kasus lain, dapat dilihat dalam sejarah Nabi Ibrahim as. dengan anaknya Nabi Ismail as. Betapa berat pergulatan batin Nabi Ibrahim as. ketika beliau harus meninggalkan istri dan anaknya yang baru dilahirkan, untuk memenuhi panggilan Allah berdakwah ke negeri lain. Selama bertahun-tahun Siti Hajar harus berjuang membesarkan anaknya seorang diri di tengah padang pasir yang tandus. Pergulatan batin Siti Hajar pun tidak ringan. Tidak hanya sampai di situ. Ujian bagi Nabi Ibrahim as. dan Siti Hajar berlanjut dengan turunnya perintah Allah pada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anak semata wayang yang baru dijumpainya. Namun karena Nabi Ibrahim as. sangat patuh dan mengutamakan kecintaannya kepada Allah, ketimbang kecintaannya kepada anak dan istrinya, maka luluslah Nabi Ibrahim as. dalam ujian tersebut.

Sejarah itu merupakan tonggak awal munculnya ibadah nusuk (pengorbanan), yang kini disempurnakan menjadi ibadah haji. Nabi Muhammad saw. pun banyak mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. yang dikenal sebagai Abu Tauhid (bapak ahli tauhid).

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا  وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ . النحل

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (An Nahl: 123).

Dengan semakin majunya peradaban manusia, yang dibarengi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pengetahuan, ternyata tidak serta merta membuat manusia menjadi tambah santun dalam menghadapi konflik kehidupan. Berbagai persoalan kerap dinilai hanya sebatas lahiriahnya. Itu adalah salah satu akibat dari kesibukan mengurus kebutuhan duniawi yang tak ada habis-habisnya, sehingga kekurangan waktu untuk merenung dan menyadari keberadaan Allah di setiap kejadian.

Bagaimana mungkin bisa mendekatkan diri pada Allah (taqarrub), selama hati seorang salik masih diliputi oleh rasa cinta kepada istri, suami, anak, keluarga, harta benda dan sebagainya. Karenanya, “ceraikan” semua itu dari dalam hati, cukup ditempatkan dalam jiwa. Cintailah Allah dengan sepenuh hati, jangan biarkan sesuatu selain Allah memenuhi hati. Karena hati orang yang beriman itu rumah Allah. Rumah Allah haruslah bersih dari segala sesuatu selain diri-Nya. Sebab anak, istri, suami, harta, pangkat, dan jabatan itu bisa menjadi hijab untuk mencintai Allah dan sekaligus menjadi ujian dan cobaan.

اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ  وَاللهُ عِنْدَهُ اَجْرٌ عَظِيْمٌ . التغابن

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At Taghaabun: 15).

Karena itu, jangan mudah terpesona pada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Karena dunia diciptakan sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Bagi para ahli tasawuf, dunia bahkan dianggap sebagai penjara yang terlaknat. Sebagaimana yang tertera pada kitab Siarus Salikin: "Dunia itu terlaknat, bagi barangsiapa yang ada di dalamnya, maka ia akan ikut terlaknat, kecuali yang berada di jalan Allah.”

Pada hakikatnya seseorang tidak bisa menguasai dunia, karena apa yang dimiliki hanya sebatas yang dipakai, seperti baju dan perhiasan. Begitu pula rumah mewah, hanya bisa dinikmati sebatas yang ditempati. Singkatnya, apa saja yang ada pada seorang hamba hakikatnya milik Allah. Karena itu, jalan terbaik satu-satunya adalah mengembalikan semuanya kepada Allah.

Ribuan hijab
Banyak hal di dunia ini dapat menjadi hijab bagi seseorang dalam memandang Allah. Dalam hadis qudsi dinyatakan: "Bahwa Allah menghijabi diri-Nya dengan 70.000 hijab." Pengertian 70.000 hijab jangan dipahami secara lafzhiah (tekstual), namun lebih tepat dipahami secara maknawi (subtansi). Artinya, bahwa Allah sengaja menciptakan ribuan hijab, supaya orang yang berjalan menuju kepada-Nya melakukan perjuangan menyingkap hijab. Sehingga, kualitas keimanan dan keyakinan seseorang teruji.

Perjuangan untuk berjumpa dengan Allah dengan segala rintangannya diibaratkan orang mencari mutiara di laut. Untuk mendapatkan mutiara berkualitas baik, seseorang harus mampu menyelam sampai ke dasar. Padahal semakin dalam menyelam, panorama laut semakin indah. Meski ikan berwarna warni dan karang yang mempesona terkadang menyimpan bahaya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Dan bagi siapapun yang tidak waspada, semua itu dapat melenakan dan membuat lupa pada tujuan utamanya (mendapatkan mutiara).

Ungkapan di atas merupakan metafor yang menyiratkan betapa sulitnya proses menyingkap hijab dalam perjalanan menuju Sang Khaliq. Sesungguhnya bukan sesuatu yang menghijabi Allah, bukan pula sesuatu yang menjadikan Allah majhul (bodoh), melainkan pandangan seorang hamba yang terhijab. Hakikatnya yang menjadi hijab adalah zhan (baca: zon atau prasangka), apakah itu prasangka baik atau pun prasangka buruk dalam memandang sesuatu. Allah sendiri menyuruh hamba-bamba-Nya untuk menjauhi prasangka.

يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ  اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ . الحجرات

"Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian dari sangka-sangka adalah dosa." (Al Hujuraat: 12).

Sesungguhnya Allah tidak terhijabi. Namun manusia dengan segala keterbatasan pandangnya yang kerap membuat Allah terhalang. Hal itu bisa terjadi karena zhan atau prasangka yang dibiarkan tumbuh subur dalam hati dan pikirannya. Padahal zhan atau prasangka itu ibarat virus kanker yang mematikan. Sekecil apapun pemunculannya, harus diwaspadai dan segera diambil tindakan agar penyebarannya tidak menjalar ke seluruh tubuh.

Zhan atau prasangka tersebut muncul dalam berbagai sendi kehidupan. Di antaranya pangkat, jabatan, materi, anak dan masih banyak lagi. Kelebihan maupun kekurangan fisik juga termasuk zhan yang terkadang membuat seseorang salah persepsi terhadap Allah. Kecantikan berlebih dapat memunculkan kesombongan, sementara cacat fisik bisa membuat seseorang sibuk merasa rendah diri sehingga tidak sempat mencari tahu makna dari rencana penciptaan Yang Maha Kuasa. Untuk menjernihkan hati dan mengembalikan kesadaran, perlu proses panjang melalui riyadhah dan mujahadah.

Wujud hijab
Hijab itu pada hakikatnya tidak berwujud, karena tidak ada wujud apapun selain wujud Allah. Sebagaimana Syekh Ibn 'Athaillah menyatakan: “Dan salah satu yang menunjukkan wujud Ke-Maha perkasaan Allah adalah terhijabnya kamu oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada wujudnya.”

Para arifin billah telah sepakat bahwasanya sesuatu selain Allah hakikatnya 'adam mahdhi. Artinya: tidak ada wujud yang berdiri dengan sendirinya, melainkan manifestasi dari wujud-Nya. Apabila menganggap ada wujud yang berdiri sendiri selain wujud Allah, berarti telah terjebak pada syirik dan hilanglah kemurnian tauhid yang sesungguhnya. Faktor penyebab hijab bagi orang yang menuju kepada Allah adalah memandang wujud selain Allah itu ada.

Allah menciptakan segala wujud akwan (keadaan) ini dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Karena wujud tiap sesuatu itu hakikatnya adalah dengan-Nya, bagi-Nya dan serta-Nya. Alam semesta hakikatnya 'adam (tidak ada). Keadaan apapun hakikatnya juga tidak ada, karena yang maujud (ada) hanya Allah. Karena wujud alam pada hakikatnya tidak ada. Jika menjadi ada dalam pandangan seseorang, maka itulah yang menjadi hijab dalam memandang wujud Allah. Syekh Abul Hasan As Sadzili ra. berkata,“Bahwasanya kami memandang Allah dengan mata iman dan yaqin. Hal itu telah menjadi alasan kami untuk senantiasa memandang Allah. Dan kami bertanya tentang keberadaan makhluk, adakah wujud makhluk sebagai sesuatu selain Allah? Jawabnya, ternyata kami tidak menemukan wujud selain Allah. Apabila ada wujud selain Allah, maka hal itu merupakan sebuah fatamorgana yang bila dicari dan dikejar tidak akan ditemukan.”

Pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mendindingi Allah, kecuali diri makhluk itu sendiri. Kalau ada yang menganggap Allah terhijabi, berarti orang tersebut belum mengerti hakikat hijab. Bagaimana mungkin Allah bisa dihijabi oleh sesuatu, padahal Allah Maha segala-galanya. Kalau Allah terhijab sesuatu, berarti ada suatu kekuatan lain yang mampu menghijabi Allah. Kalau ada sesuatu yang lebih kuat menghijabi Allah, berarti Allah majhul (terpedaya), berarti juga ada yang lebih dominan daripada Allah. Maha suci Allah dari sangkaan orang-orang yang tertutup mata hatinya.

Kedekatan-Nya Bagaimana Allah terhijabi sementara Dia begitu dekat kepada hamba-hamba-Nya.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ  وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ . ق

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaaf: 16 ).

Ayat tersebut menegaskan keberadaan Allah yang sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya. Jika dibuat misal, maka kedekatan Allah dengan hamba bagaikan ruh dengan jasad. Bagaimana bisa, jasad mencari ruh, sementara ruh meliputi jasad. Ruh tak akan tampak tanpa adanya jasad. Jasad tak akan hidup tanpa adanya ruh. Kendatipun dua hal tersebut berbeda wujud, namun hakikatnya satu dalam arti melengkapi pada kenyataan wujud. Tergantung dari sisi mana melihatnya. Apapun yang terlalu dekat, bisa menjadi hijab. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang jauh juga bisa tidak terlihat. Maka tidak terlihat itu juga hijab.

Sengaja Allah menciptakan hijab bagi diri-Nya di balik alam semesta ini, karena tidak ada yang mampu menghijabi Allah kecuali Allah. Karena hakikatnya tidak ada suatu apapun melainkan perwujudan-Nya.

Allah menghijabi diri-Nya dengan berbagai cara, di antaranya dengan menciptakan akal dan nafsu. Akal dapat menjadi hijab bagi hamba dalam memandang Allah karena akal bersandar kepada dalil-dalil logika yang rasional. Dengan rasionalitasnya akal akan menuntut fakta yang riil dan menolak hal-hal yang bersifat abstrak dan irasional. Sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal, tidak riil dan tidak rasional, dianggap sebagai kemustahilan bagi akal. Disitulah munculnya hijab. Sementara akal dan rasio tidak akan mampu menjangkau kedalaman wilayah ketuhanan. Ada keterbatasan-keterbatasan yang membelenggu akal dan rasio dalam memahami wilayah ketuhanan. Karena keterbatasannya itu, maka dalam memahami wilayah ketuhanan harus memakai akal yang didasari iman.

Sedangkan nafsu dapat menjadi hijab dalam memandang Allah karena nafsu menghendaki kesenangan duniawi semata. Maka bagi orang yang terpedaya dengan nafsunya niscaya akan sulit memandang Allah. Sebab salah satu karakter nafsu adalah selalu mengajak untuk berpaling dari Allah.

Sesungguhnya hijab adalah selimut diri-Nya. Di balik hijab tersimpan sebuah rahasia wujud Kemahaperkasaan-Nya dan ke-Elokan-Nya. Jika seorang hamba telah menyingkap hijab maka akan menemui dirinya fana (sirna) dan bersemayam di baqabillah (kekal dengan Allah).

Setelah memahami berbagai hijab, baik hijab dunia maupun hijab ruhani, dapat dimengerti betapa hidup seorang hamba dipenuhi oleh pergulatan demi pergulatan untuk menyingkap hijab. Di manapun, kapanpun, bahkan dalam setiap tarikan nafasnya. Adalah merupakan sebuah anugerah, bila diberi kemampuan dapat mencermati setiap pergulatan menuju kepada-Nya. Karena sesungguhnya hanya Allah sajalah yang dapat menyingkap hijab-hijab wujud-Nya.

Sumber: Mursyid Akmaliah

Kunci Menyibak Hijab

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyibak hijab, terutama bagi setiap orang yang berjalan menuju Allah (salik). Sebab ketika seseorang tidak mampu menyibak hijab, berarti selama itu pula dia tidak bisa lepas dari jeratan syirik, baik syirik jail (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi).

Syarat utama untuk berjumpa dengan Allah adalah tidak syirik, teristimewa menjalankan ibadah. Perjuangan yang harus terus dilakukan ialah mencari cara agar mampu menyibak hijab itu sendiri.

Seperti diketahui, yang selalu mengajak orang berpaling dari Allah adalah nafsu yang ada di dalam diri, terutama nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat (uraian tentang nafsu dapat dilihat pada Kasyaf Edisi ke-1). Nafsu, meski di satu sisi berfungsi menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya kehidupan dunia.

Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, karena desakan beragam peristiwa, keadaan, keinginan dan ambisi. Dalam situasi itu, pandangan seseorang akan mudah terhijab (terdindingi) dan berpaling kepada selain Allah. Untuk itu dibutuhkan kemampuan mengendalikan nafsu agar tidak terhalang dalam memandang Allah. Karena ketika nafsu tidak mampu dikendalikan, maka nafsu tersebut akan menguasai diri sepenuhnya, bahkan dapat menjadi tuhan selain Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلَهَهُ هَوَـهُ وَاَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً  فَمَنْ يَّهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ  اَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ .

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al Jaatsiyah: 23).

Pada saat nafsu telah menguasai diri, itu pertanda hijab telah menutupi pandangan hati, juga tidak menutup kemungkinan akan merambah ke pendengaran, penglihatan dan akal. Pada akhirnya, penglihatan tidak mampu menyaksikan keindahan sifat Allah, pendengaran tidak mampu merasakan dahsyatnya ayat-ayat Allah, dan akalnya tidak mampu menerima percikan cahaya Ilahi. Itu semua adalah tanda dari orang yang sedang disesatkan Allah. "Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus." (Al An'aam: 39).

Salah satu cara untuk menyingkap hijab adalah dengan jalan mengendalikan nafsu dan mematikannya. Dalam hadis Nabi saw. menganjurkan:

مُوْتُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تَمُوْتُوْا

"Matikan nafsumu sebelum kamu mati." (tertera pada Kitab Addurun Nafis).

Orang yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan memiliki pandangan yang jernih dalam menatap Wujudul Haq (wujud Allah). Diumpamakan bagai telaga yang airnya jernih, tampak jelas keindahan semua isinya. Sebaliknya, telaga yang airnya kotor tidak terlihat apapun, kecuali hanya kekeruhan. Orang yang dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya dan takut Tuhannya, akan memetik keindahan syurga.

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurga sebagai tempatnya." (An Naazi’aat: 40-41).

Orang-orang seperti itulah yang akan dapat menikmati keindahan syurga, yaitu terbukanya tirai Ilahi. Barangsiapa rindu berjumpa dengan Allah, hendaklah menahan diri dari mengikuti hawa nafsu. Berbahagialah orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dari keterikatan hawa nafsu.

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu senantiasa berhubungan (memandang Allah)." (Al 'Alaa: 14-15).

Prasangka
Hijab paling dahsyat ialah zhan (baca: zon atau prasangka). Disusul hijab "rasa" yang sangat berbahaya dan bisa meruntuhkan benteng keyakinan. Semua itu adalah hijab dalam memandang wujud Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka-sangka, karena sebagian dari sangka-sangka itu dosa." (Al Hujuraat: 12).

Apa yang telah menjadi prasangka kebanyakan orang tentang adanya sesuatu selain Allah, sesungguhnya jauh dari kebenaran. Karena prasangka tersebut, hanya sebuah pandangan atau sebatas persepsi yang sudah melekat erat sesuai alur kehidupan.

"Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (An Najm: 28).

Karenanya, singkirkan segala prasangka dari dalam hati dan pikiran, dengan cara syuhud. Yakni memandang ke-Esa-an wujud Allah melalui basyiratul qalbi (mata hati).

Penyibak hijab
Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi (pandangan mata hati) seperti kaidah yang tertera dalam kitab Addurun Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH "Pandang yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak." Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah: “Tidak aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya.” Itulah kunci-kunci penyibak hijab.

Kunci-kunci tersebut harus dipraktekkan dengan tauhidul af'al, tauhidul asma, tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap zat hakikatnya adalah zat Allah.

Bila semua perbuatan, nama, sifat dan zat telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang disebut akhlakul karimah. Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sebagaimana terlukis pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas, tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya. Akhlak tersebut tidak dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud.

Acuan syuhud adalah laailaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna: Tidak ada sesuatu apapun selain Allah. Rasulullah bersabda: "Kunci syurga itu laailaha illallah". Disebut kunci syurga, karena syurga bagi orang yang sedang menuju Allah dipahami sebagai syurga dalam arti ma'rifah. Seseorang tidak akan ma'rifah tanpa membuka kuncinya. Kunci itu adalah mengamalkan kalimat laailaha illallah sampai menemukan hakikat fana.

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar Rahmaan: 26-27).

Tatkala sampai pada derajat fana, maka tersibaklah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun sebagai kunci pembuka tirai Ilahi.

Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi syuhud ada dalam rasa. Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa dalam arti esa. Demikian syuhud bagi para arifin billah. Tapi syuhud bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya, hingga tertanam 'ilmul yaqin (keyakinan ilmu).

Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan syua'ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring zikir yang istiqomah. Sehingga muncul inner power atau kekuatan dari dalam diri yang dapat memicu semangat berjalan menuju kepada-Nya. Akhirnya dengan pengamalan syuhud yang benar akan runtuh segala prasangka dan tersingkaplah seluruh hijab.

Menghadirkan Allah
Membiasakan syuhud sekaligus diiringi zikir, ibadah, dan thariqah (tarekat) itu harus dilakukan dengan bimbingan seorang mursyid, yakni seorang pembimbing yang waliyan mursyidan, waratsatul anbiya (pembimbing yang bijak dan benar-benar sebagai pewaris nabi).

Untuk bisa mengamalkan syuhud dengan baik dan benar perlu diiringi dengan zikir. Baik dengan zikir lisan, zikir aqli (akal), zikir qalbi (hati) maupun zikir sirri (rahasia). Juga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar Allah selalu hadir (hudhurullah) di dalam hati, sehingga secara perlahan-lahan akan selalu memandang Allah. Bahkan yang ada dan yang dipandang hanya keelokan dan keagungan wujud Allah.

Hudhurullah adalah membalik kesadaran hamba menjadi kesadaran robbaniyah (ketuhanan). Apabila pandangan hamba menghadap kepada Allah niscaya hilanglah makhluk dan yang tampak adalah wujud-Nya. Sebaliknya apabila pandangan hamba menghadap kepada mahluk, niscaya hilanglah Allah. Dua pandangan tersebut tidak dapat berjalan secara bersamaan.

Untuk memahami hal tersebut harus mengerti istilah “nafi itsbat” dalam kalimat Laailaaha illallah. Lafaz laa adalah nafi, artinya meniadakan. Sedangkan lafaz Ilaaha sebagai manfi, artinya yang ditiadakan. Adapun itsbat-nya adalah lafaz Illa, artinya kecuali. Dan mutsbit-nya adalah Allah. Lafaz Ilaha berarti sesuatu yang dimaknai Tuhan. Sesuatu yang menjadi tuhan, meliputi segala yang dicintai dan disayangi hingga membatu dan berubah jadi berhala dalam hati. Karena itu, dalam kalimat nafi istbat yang harus dinafikan adalah pandangan kepada makhluk. Sebab selama memandang makhluk, tidak mungkin dapat memandang Allah dan untuk dapat memandang Allah, harus fana kemakhlukannya. Allah dan makhluk tidak dapat disatukan juga tak bisa dipisahkan, masalah ini bagaikan keberadaan malam dengan siang. “Semua yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar Rahmaan: 26-27).

Menunggu Warid
Untuk menyibak hijab, seseorang tidak bisa mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya, melainkan semata-mata dengan kekuatan dan anugerah Allah. Banyak orang yang terhijab dalam memandang Allah, karena belum mendapatkan warid (anugerah) dari Allah. Namun kehadiran anugerah Allah tidak bisa didikte oleh kehendak hamba, melainkan semata-mata karena kehendak-Nya. Seseorang yang berharap dan menunggu anugerah Allah, seyogianya melakukan kaifiat (tata cara) riyadhah dan mujahadah (ibadah dan berjuang) untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Karena itu, apapun usaha yang dilakukan seseorang untuk menyingkap hijab dengan mengamalkan zikir, mengendalikan nafsu, melaksanakan qiyamul lail (sholat malam) dan melakukan riyadhah mujahadah, semua itu tidak lepas dari minnah atau anugerah Allah. Sehingga semua amal ibadah yang dilakukan tetap dikembalikan kepada Allah. Sebaliknya, apabila amal ibadah tersebut disandarkan pada dirinya sendiri, malah menambah hijab. Maka apa pun yang dilakukan, hendaklah dipandang bahwa semua itu adalah warid (anugerah) dari Allah. Perlu dipertegas di sini, bahwa anugerah Allah tidak dapat dicari dengan usaha apapun, melainkan hanya bersandar kepada Allah semata.

Tersingkapnya hijab bagi hamba dalam memandang Allah, karena telah mendapatkan percikan anwar ilahiyah (cahaya Allah). Ketika seseorang telah mendapatkan warid, maka hatinya senantiasa lega dan lapang dalam menghadapi apapun, termasuk sesuatu yang tidak sesuai dengan nafsunya.

Bimbingan Syekh Mursid
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menyibak hijab, yang paling utama adalah kemampuan mengendalikan nafsu, yaitu nafsu yang selalu mengajak ingkar kepada Allah, nafsu yang membenamkan seseorang pada kenikmatan hidup secara syahwati, nafsu yang memalingkan pandangan seseorang pada selain Allah. Di samping itu, juga harus menghilangkan prasangka. Karena prasangka yang muncul dari akal pikiran, biasanya telah tercampur dengan adapt kebiasaan yang berlaku di seputar kehidupannya.

Jika ingin menghilangkan prasangka tentang adanya sesuatu selain Allah, maka harus bisa menerapkan syuhud dengan benar. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu tauhid yang mukasyafah (terbuka).

Untuk mempelajari ilmu tauhid yang benar, harus mendapat bimbingan dari seorang mursyid, yaitu seorang pembimbing spiritual yang memiliki "mandat ruhaniah" untuk membimbing salikin menuju kepada-Nya. Adalah merupakan anugerah besar bagi seseorang yang telah dipertemukan dengan seorang pembimbing yang demikian, karena hanya dengan petunjuk dan anugerah dari Allah sajalah seseorang bisa dipertemukan dengan mursyid.

Dalam Al Quran telah diisyaratkan bahwa bagi orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka akan dipertemukan dengan seorang guru yang mampu membimbing dalam wilayah ruhaniah, yaitu yang disebut Syekh Mursyid yang kamil mukamil (sempurna).

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (Al Kahfi: 17).

Yang dimaksud wali dalam ayat di atas ialah pemimpin spiritual. Pemimpin tersebut adalah orang yang telah mencapai puncak spiritual, mereka itulah yang dikenal dengan gelar Waliyullah atau Arifin billah. Para Waliyullah inilah yang memiliki mandat ruhaniah untuk menjadi mursyid (pembimbing) bagi para penempuh jalan menuju Allah.

Mursyid dalam arti pembimbing bagi orang yang menuju Allah, berbeda dengan ulama yang hanya sebatas memahami ilmu fikih belaka. Juga berbeda dengan para akademisi dan pakar tasawuf yang biasanya hanya sebatas wacana, tidak mengenal apalagi menyelami wilayah ruhaniah yang sesungguhnya.

Dengan memperoleh bimbingan dari seorang syekh mursyid yang kamil mukamil, seorang salik akan terbimbing dalam perjuangan menyibak ribuan hijab yang menghalangi perjalanannya. Ketika hijab kegelapan telah tersingkap, maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerobos menerangi hati. Dan nyatalah rahasia-rahasia ketuhanan melalui penglihatan mata hati (bashiratul qalb).

Sumber: Mursyid Akmaliah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar