Selasa, 26 Juli 2011

Nur Muhammad

NUR MUHAMMAD

Muhammad Hakiki  dan  Muhammad Majazi

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَاجَابِرُ ! اِنَّ اللهَ خَلَقَ قَبْلَ اْلاَشْيَاءِ نُوْرُ نَبِيِّكَ مِنْ نُوْرِهِ
Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Wahai Jabir ! Sesungguhnya Allah sebelum menciptakan sesuatu (alam semesta) telah menciptakan Nur Nabimu dari Nur-Nya."
Pertama kali yang diciptakan Allah adalah Nur Muhammad, kemudian dari Nur Muhammad diciptakan alam semesta. Jadi seandainya Nur Muhammad tidak diciptakan niscaya alam semesta tidak akan pernah ada. Dalam hadis lain yang juga dikutip dari kitab  ad-Durr an-Nafiis, karya Syekh Muhammad Nafis ibn Idris al-Banjari  dijelaskan:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ اللهَ خَلَقَ رُوْحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ذَاتِهِ وَخَلَق الْعَالَمَ بِاَسْرِهِ مِنْ نُوْرِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menciptakan ruh nabi Muhammad Saw. dari Zat-Nya. Dan Allah menciptakan alam semesta seluruhnya dari Nur Muhammad Saw."
Bahwa ruh Nabi Muhammad Saw. atau Nur Muhammad diciptakan dari Zat Allah disebut Muhammad Hakiki, sedangkan alam semesta atau jasad manusia disebut Muhammad Majazi.
Muhammad Hakiki terus berjalan menyusuri lorong waktu mulai dari alam semesta belum diciptakan hingga dilahirkannya Muhammad bin Abdillah, maka kelahiran Muhammad sebagai titik temu antara Muhammad Hakiki dan Muhammad Majazi. Hal ini telah dijelaskan dalam kitab al-Barjanzi Natsar:
وَلَمَّا اَرَادَ اللهُ تَعَالَى اِبْرَازَ حَقِيْقَتِهِ الْمُحَمَّدِيَّةِ وَاِظْهَارُهُ جِسْمًا وَرُوْحًا بِصُوْرَتِهِ وَمَعْنَاهُ ...
"Tatkala Allah berkehendak menampakkan Muhammad Hakiki dan mendemonstrasikannya dengan bentuk rupa yang berjasad dan memiliki ruh (maka dipilihlah rahim Aminah sebagai tempat bersemainya janin Muhammad bin Abdilah)."
Maka Nabi Muhammad Saw. disebut sebagai khatamun nabiyyin, yaitu nabi penutup. Dengan demikian, pintu nubuwaah sudah tertutup sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw. Karena itu, apabila ada pengakuan kenabian setelah Nabi Muhammad Saw. berarti pengakuan tersebut bertentangan dengan nash Al Quran maupun Hadis, seperti yang dilakukan Musailamah al-Kazzab, Mirza Gulam Ahmad dari Ahmadiyah yang mengaku dirinya sebagai nabi. Namun demikian, walaupun pintu kenabian sudah tertutup tapi pintu wilayah (kewalian) terus berjalan secara estafet dari generasi ke generasi hingga akhir jaman. Bahkan dalam kitab Bahrul laahuut, lautan ketuhanan, dijelaskan, bahwa alam semesta dijadikan oleh Allah dari keagungan  nur wilayah, dan nur wilayah  dijadikan dari keagungan nurullah. Selanjutnya, dijelaskan, bahwa kenabian  (nubuwwah) merupakan sifat lahiriah para nabi dan rasul sedangkan wilayah sebagai sifat batiniahnya. Jadi, nubuwwah sebagai legimitasi formal sedangkan wilayah sebagai legimitasi spiritual. Dengan demikian, seseorang yang telah diangkat menjadi nabi atau rasul berarti mereka secara spiritual telah mencapai derajat wilayah.
Maka siapapun umat Nabi Muhammad Saw. apabila telah menjalani proses ruhaniah hingga mencapai puncaknya maka orang tersebut disebut sebagai waliyullah bukan nabiyullah. Orang yang mendapatkan maqam wilayah biasanya disembunyikan oleh Allah dan tidak dipublikasikan secara terbuka seperti nabi atau rasul. Akan tetapi mereka mendapat gelar ulama' yang menjadi pewaris para nabi. Dalam hadits telah dijelaskan:
اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ اْلاَنْبِيَاءِ .  اخرجه ابوا داود والترمذي
"Para ulama' adalah pewaris para nabi." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Menurut al-Gazali, bahwa ulama' yang menjadi pewaris nabi disebut ulama' akherat, yaitu ulama' yang takut hanya kepada Allah. Dalam Al Quran telah dijelaskan ciri-ciri mereka:
اَلَّذِيْنَ يُبَلِّغُوْنَ رِسَالاَتِ اللهِ يَخْشَوْنَهُ وَلاَ يَخْشَوْنَ اَحَدًا اِلاَّ اللهَ . وَكَفَى بِاللهِ حَسِيْبًا
"...  ialah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah. Mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan." ( Al Ahzab : 39)
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Yunus: 62)
Jadi tidak mudah untuk mengidentifikasi apakah seseorang menjadi wali atau tidak kecuali dengan mengenali ciri-ciri yang telah digariskan dalam Alqur'an maupun Hadis. Selain itu, yang dapat mengetahui apakah seseorang telah mencapai maqam wilayah atau tidak hanya orang-orang yang sampai pada maqam tersebut pula.
لاَ يَعْرِفُ الْوَلِي اِلاَّ الْوَلِي
"Tidak dapat mengetahui wali kecuali wali."
Bagi orang awam atau orang yang masih gelap mata hatinya niscaya tidak akan mampu mengenalinya. Karena secara lahiriah mereka seperti manusia biasa, sama sekali tidak menampakkan ciri-ciri khusus dan tidak pernah menyatakan bahwa dirinya seorang wali. Namun bagi orang-orang yang mendapatkan Hidayah dari Allah, mereka akan dipertemukan dengan orang yang mencapai maqam  wilayah. Hal ini sebagai anugerah dari Allah. Dalam Al Quran telah dijelaskan:
مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali mursyid (yaitu pemimpin yang dapat memberi petunjuk)." ( Al Kahfi:17)
Dengan demikian, beruntunglah bagi mereka yang telah dipertemukan dengan wali-wali Allah di muka bumi. Mereka adalah kekasih Allah yang disembunyikan dibalik kemanusiannya. Mereka adalah Insan Kamil yang mencapai kesempurnaan setelah melewati tahapan-tahapan ruhaniah hingga puncaknya sebagaimana para nabi dan rasul.


"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Demikianlah firman Allah dalam surat Al Maa'idah ayat 15 dan 16 menjelaskan tentang Nur atau Cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad SAW sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil'alamin. Beliau menjadi Nabi akhir jaman dan sekaligus penutup dari semua nabi-nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat. "Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah." (Al Azab: 45-47).

Hakikat Muhammad SAW

Muhammad SAW yang dijuluki Allah sebagai Cahaya adalah nama yang menjadi figure sentral ajaran Islam. Memahami Beliau, baik dari sisi nama, sifat, perbuatan maupun wujud dirinya bagai meneguk air di lautan. Dalam syair barjanji Beliau diibaratkan bagai cahaya purnama. Cahaya yang tidak menyilaukan, cahaya yang menyejukkan dan cahaya yang romantis.
Di kalangan orang-orang ahli tauhid, hakikat dan tasawuf memahami Muhammad SAW tidak sebatas pada wujud Muhammad bin Abdillah. Artinya, tidak sebatas fisik lahiriahnya yang kini telah wafat. Tapi lebih jauh lagi pada pemaknaan yang hakiki.
Syekh Muhammad Nafis al Banjari dalam kitabnya Addurun Nafis menjelaskan Nur Muhammad dikaitkan dengan martabat tujuh (tanazul zat). Beliau menjelaskan tentang Nur Muhammad pada martabat wahdah yaitu martabat kedua dari tujuh martabat yang diistilahkan tanazul zat. Tujuh martabat dalam  tanazul zat meliputi  ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan alam insan.

Martabat Ahdiyah
Di martabat  ahdiyah lahir segala sifat dan asma, tetapi binasa keduanya di dalam  zat wajibul wujud. Martabat ini juga disebut martabat kunhi zatullah. Martabat ini merupakan puncak segala martabat, tak ada martabat di atasnya setelah martabat ahdiyah.

Martabat Wahdah
Pada martabat wahdah ini, lahir segala sifat dan asma secara  ijmal yakni perhimpunan. Oleh karena itu, martabat ini disebut sebagai hakikat Nabi Muhammad SAW. Martabat ini menjadi asal dari segala yang hidup dan maujud. Dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai hawiyatul 'alam atau hakikat alam dan segala sesuatu sebagaimana Beliau menjelaskan: “Awal mula yang dijadikan Allah Ta'ala itu cahaya Nabimu hai Jabir, maka kemudian dijadikan dari padanya segala sesuatu. Sedangkan dirimu merupakan salah satu dari sesuatu itu.”  (Hadis yang bersumber dari Sayyidina Jabir ra).
Ada hadis yang menjelaskan tentang Nur Muhammad sebagaimana Beliau menyatakan: "Aku daripada Allah dan segala mukmin itu daripada-Ku.”  Dan ada pula yang menerangkan: “Bahwasanya Allah Ta'ala telah menjadikan Ruh Nabi Muhammad SAW dari Zat-Nya dan menjadikan sekalian alam dari Nur Muhammad SAW.”
Disebutkan dalam hadis riwayat Abdur Razaq ra. dari Sayyidina Jabir ra.: Jabir datang kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan:   “Ya Rasulullah, kabari aku tentang awal mula suatu yang dijadikan Allah Ta'ala.” Maka sabdanya:  “Hai Jabir , bahwasanya Allah Ta'ala telah menjadikan terlebih dahulu dari sesuatu itu Nur Nabimu yang telah tercipta dari Zat-Nya.”
Pemahaman tentang Nur Muhammad SAW dari Zat-Nya dapat diilustrasikan pada pengertian antara cahaya matahari dan wujud matahari. Dalam sudut pandang rupa, cahaya bukanlah matahari dan matahari juga bukan cahaya. Keduanya mempunyai wujud dan sifat sendiri. Tapi jika dilihat dari makna yang hakiki, cahaya merupakan diri matahari, karena tak akan ada cahaya tanpa matahari dan tak akan disebut matahari tanpa mengeluarkan cahaya. Jadi pada hakikatnya cahaya itu diri matahari dan tidak lain daripadanya.
Memahami nur yang dinobatkan sebagai diri Muhammad jangan seperti memahami cahaya secara harfiah, tapi lebih kepada esensinya sebagaimana Allah juga menamakan diri-Nya sebagai sumber cahaya langit dan bumi, "Allah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi." (An Nur: 35).

Martabat Wahdiyah
Di martabat wahdiyah lahir segala sifat dan asma dengan men-tafsil-kan sesuatu yang ada pada martabat wahdah yaitu terurai sifat dan asma yang masih mujmal pada martabat wahdah. Pada martabat ini terjadi prosesi khitab dari kalam qadim kepada alam sifat dan asma. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaahaa: 14)

Martabat Alam Arwah
Martabat  alam arwah itu yang menjadi hakikat semua ruh yang lahir dan menjadi kenyataan semua yang ada pada martabat  ahdiyah, wahdah dan wahdiyah. Pada martabat ini disebut juga dengan nama Hakikat Muhammad atau Muhammad Hakiki.

Martabat Alam Mitsal
Pada martabat alam mitsal, dijadikan segala sesuatu berupa yang halus tanpa menerima bahagian jasadi. Ini adalah alam yang realitasnya bersifat abstrak dan sangat halus yang tidak dapat dibagi secara material. Dalam Al Quran alam  mitsal disebut dengan alam gaib. Artinya, alam yang kondisinya tidak dapat dilihat secara kasatmata seperti surga, neraka dan termasuk alam jin.

Martabat Alam Ajsam
Pada martabat  alam ajsam, segala sesuatu dijadikan berupa fisik dalam wujud jasmani yang kasar dan menerima bahagian. Martabat ini juga disebut alam syahadat yaitu alam penyaksian. Karena pada alam ini kondisinya tersusun dari beberapa unsur material seperti api, angin, tanah, air dan lainnya. Segala sesuatu yang ada pada alam ini, dalam proses menjadi harus melalui ekosistem. Ini juga disebut martabat  alam ajsad, sehingga dalam alam ini sesuatu apapun dapat disaksikan dengan mata lahiriah, karena sudah menjadi fisik materi.

Martabat Alam Insan
Martabat alam insan atau insan kamil, yaitu martabat yang menghimpunkan bagi segala martabat yang enam di atas (ahdiyah, wahdah, wahdiyah, alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam). Maka orang yang telah berhasil mencapai proses tahapan spiritual dengan melewati enam martabat disebut insan kamil (manusia yang sempurna).

Martabat  ahdiyah, wahdah dan wahdiyah adalah tiga martabat alam  qadim. Sedangkan tiga martabat  huduts ialah martabat alam arwah, alam mitsal dan alam ajsam. Adapun martabat alam insan ialah martabat yang menjadi gelar dan disandang oleh orang-orang yang telah mencapai puncak perjalanan ruhani sebagaimana yang telah dicapai oleh Nabi Muhammad SAW yang mendapat berbagai gelar dari Allah sebagai khuluqin 'azhim (akhlak yang agung).

Nur Muhammad SAW
Sungguh sangat logis bila Nabi Muhammad SAW disebut dalam Al Quran sebagai wujud Nur yang datang menerangi kegelapan dunia. Dengan demikian sangat pantas bila Beliau disebut sebagai Bapak dari segala ruh dan Adam sebagai Bapak dari segala jasad. Karena ruh itu diibaratkan cahaya dan jasad diibaratkan kegelapan. Oleh karena itu, tatkala muncul pengertian Muhammad Majazi dan Muhammad Hakiki, Nur Muhammad dan Hakikat Nur Muhammad harus dipahami secara maknawi yaitu jasad dan ruh, gelap dan terang. Yang berarti pula Nur Muhammad itu merupakan cahaya petunjuk jalan yang benar.  "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Al Baqarah: 256-257)

Sumber: Mursyid Akmaliah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar