Kamis, 08 Desember 2011

NAFSU MANUSIA

NAFSU MANUSIA

Manusia dan Ragam Nafsunya

Nafsu pada diri manusia beragam. Ada nafsu baik (taqwa), ada pula yang buruk (fujur). Nafsu yang fujur adalah nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat. Sedang nafsu yang baik adalah nafsu sawwiyah, muthmainah, radhiyah dan mardhiyah. Seperti apa kongkretnya?

NAFSU ammarah mencakup sifat-sifat ath’imah (banyak makan), asyrabah (banyak minum), naawaâ-im (banyak tidur) dan jimaa’ (senggama yang berlebihan). Nafsu lawwamah meliputi sifat-sifat ghadab, ghibah, namimah, hasud, ‘ujub, takabur, riya’, cinta dunia, harta dan tahta. Nafsu lawwamah disebut juga nafsu setan yang selalu mengajak berbuat keji.

Sedang nafsu sawwalat meliputi sifat–sifat kasal, futur, malal, sum’ah dan hijab. Nafsu sawwalat identik dengan sifat Iblis. Sebab nafsu jenis ini selalu mengguncang akidah orang yang sedang meniti syari’at Islam.
Tiga nafsu tersebut adalah fujur alias buruk. Yakni: jiwa yang diilhami kekejian. Sifat-sifatnya disebut madzmumah (sifat yang tercela).

Sedang nafsu yang menghiasi tujuh anggota sujud manusia dengan akhlak mahmudah (yang terpuji) adalah nafsu sawiyyah dan nafsu muthmainnah.

Nafsu sawwiyah terdiri atas sifat khauf, taqwa, raja’, zuhud, tawadhu, shabar, syukur, mahabbah, ridha, tawakal dan ikhlas. Nafsu muthmainnah berbusana arif billah, arif linafsih, dan berdiam pada mahligai khalifah fiil ardh.

Adapun nafsu Radhiyah dan Mardhiyah disebut juga nafsu “lathifatur rabaniyah”: nafsu ketuhanan yang amat halus dan lembut, meliputi ruh insan kamil (manusia yang sempurna).
Tujuh nafsu itulah yang mendominasi gerak langkah manusia. Hal itu tercermin pada watak atau tabiatnya. Apabila salah satu nafsu sedang melancarkan aksinya maka watak manusia akan mencerminkan sifat nafsu tersebut.
Misalnya, ketika jiwa manusia dikuasai nafsu amarah, maka gerak hidupnya seperti binatang. Ia selalu cenderung berbuat maksiat. Baik maksiat lahir maupun batin.

Allah menjelaskan tentang nafsu amarah dalam firmanNya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (amarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf, 53).
Jika jiwa seseorang dikuasai nafsu lawwamah, maka watak dan kepribadiannya akan terhiasi kefasikan dan penyesalan. Ia akan sering melakukan perbuatan nista, kemudian disusul dengan taubat dan penyesalan. Tetapi hal itu terus berulang. “Dan Aku bersumpah dengan jiwa (nafsu) yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al Qiyamah, 2)

Apabila seseorang sedang dikuasai nafsu sawwalat maka ia akan merasa malas, jenuh dan bosan dalam menjalankan syariat Islam. Langkah ibadah orang tersebut ahmak (rusak), karena perbuatan buruk dipandang baik menurut persepsinya. “Ya’kub berkata: Hanya dirimu sendirilah yang menganggap baik perbuatan (buruk) itu”. (QS. Yusuf, 83)

Nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat sebagaimana telah diurai di atas, termasuk golongan nafsu yang batil. Maka itu: “Matikanlah dirimu (nafsumu) sebelum datang kematian (ajal) kepadamu.”
Sedang nafsu Sawwiyah disebut juga nafsu Malaikat, merupakan generator perbuatan yang terpuji. Kepada nafsu sawwiyah, Allah mengilhamkan ketaqwaan dan kebersihan yang senantiasa menyelimutinya. ”Dan jiwa (nafsu) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan.” (QS. Asy Syams, 7 & 8)

Adapun nafsu Muthmainah adalah jiwa yang tenang. Nafsu inilah hakikat manusia dan hamba Allah. Hanya nafsu Muthmainah yang dipanggil oleh Allah dan berhak menjadi hamba Allah serta mendapat prioritas untuk memasuki jannah-Nya. “Hai jiwa yang tenang (nafsu Muthmainnah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al Fajr, 27-30)

Maka dapatlah dimengerti bahwa gerak dan sifat manusia merupakan cerminan nafsu-nafsu yang menguasainya. Apabila sifat nafsu sedang gairah terhadap suatu yang didengar, dilihat, diraba serta dirasakan, maka akal berfungsi untuk mempertimbangkan kehendak nafsu tersebut. Sedang keberadaan hati bertindak memutuskan masalah kehendak nafsu atas dasar pertimbangan akal.

Gerakan tujuh anggota sujud sebagai pelaksanaan kehendak nafsu, apakah tampak baik atau buruk, tergantung pada pertimbangan akal dan kebijakan hati tatkala memutuskannya. Dengan kata lain, baik dan buruk akhlak tujuh anggota sujud seseorang tergantung kepada pertimbangan akal yang diperkuat oleh keputusan hati sebagai rajanya. “Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada terdapat segumpal daging. Apabila ia baik niscaya jadi baiklah seluruh (organ) tubuhnya dan apabila ia buruk niscaya jadilah seluruh tubuhnya buruk. Ketahuilah! Bahwa itu adalah hati.” (HR Bukhari Muslim)

Sumber: Mursyid Akmaliah

Nafsu Ammarah:
Obat dan Cara Menjinakkannya

Nafsu ammarah salah satu dari tujuh nafsu dalam diri manusia. Secara harfiah amarah berarti mengajak atau menyuruh. Sedang nafsu itu sendiri berarti jiwa. Seperti apa wujudnya dalam tingkah laku sehari-hari?

NAFSU ammarah acap mengajak akal-pikiran manusia untuk berangan-angan. Biasanya dengan iming-iming yang menggiurkan: makan, minum, tidur, dan jima’ secara berlebihan.

Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanku), karena sesungguhnya nafsu (ammarah) itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yusuf, 53).

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 179).

Nafsu ammarah disebut juga nafsu binatang. Bahkan, Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal Ihya’ Ulumuddin menyebutnya dengan citraan yang lebih kontras: bahimiyyah dan sabu’iyyah (binatang ternak dan binatang buas). Sifat binatang ternak dan binatang buas itu mengeram dalam diri manusia. Mulai dari jiwa sampai jasmaninya. Wujudnya dalam bentuk perilaku makan, minum, tidur, bersenggama, dan hal-hal yang serba berlebihan, yang tidak islami. Puncaknya: hubbud dun-ya wakarahatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Pemelihara Jasmani
Ammarah salah satu nafsu yang meliputi jiwa manusia. Nafsu itu mewarnai segala perbuatannya yang serba berlebihan (tusrifu). Jika nafsu amarah telah menguasai akal-pikiran manusia, maka tabiatnya akan condong pada kehidupan yang serba mewah. Meski, untuk mencapainya harus menempuh jalan yang melanggar syariat Islam.

Namun di sisi lain nafsu ammarah juga berperan sebagai pemelihara hidup jasmani. Ini suatu tanda bahwa semua yang diciptakan Allah tidaklah sia-sia. Nafsu ammarah sebetulnya bukan beban bagi manusia. Sebab nafsu ammarah juga berguna bagi manusia dalam memelihara jasadnya selama hidup di dunia.

Budak Dunia
Jika nafsu amarah menguasai diri manusia, maka jadilah ia sebagai orang yang tamak, rakus, loba dan berbagai macam sifat tidak terpuji lainnya. Bahkan tidak sedikit yang lalai dalam urusan agama karena disibukkan urusan dunia.

Mereka suka bermegah-megahan, gemar menimbun kekayaan tanpa menghiraukan kewajiban berzakat. Mereka lebih senang menghabiskan harta di jalan setan (maksiat) daripada di jalan Allah. Mereka telah diperbudak dunia.

Tentang hal ini, ada hadist berbunyi: “Wahai dunia, berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepada-mu!” (HQR. Al-Qudha’I, dari Ibnu Mas’ud).

Orang sering tak sadar, kehidupan dunia ini tak lebih dari fatamorgana. Dengan nafsu ammarah manusia sering berambisi ingin “memiliki dunia”. Ada rasa tidak puas dengan apa yang telah dikaruniakan Allah baginya.

Allah berfirman: “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Al-Imraan, 14).

Atau pada firman yang lain: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-senarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’, 35).

Ammarah Bahimiyyah
Nafsu ammarah berbusana bahimiyyah itu identik dengan laku hidup binatang ternak dalam hal memenuhi kebutuhan jasmaninya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana bahimiyyah laku-hidupnya sering seperti binatang ternak.

Dalam kaitan nafsu ammarah berbusana bahimiyyah kiranya perlu diperhatikan pengertian kalimat “berlebih-lebihan” atau “pemborosan” dan “sederhana”, sebagaimana acap disebut dalam Al Qur’an.

Pengertian “berlebih-lebihan” dan “pemborosan” ialah perbuatan yang melampaui batas yang wajar. Sedang “sederhana” ialah perbuatan menahan diri dari kemampuan maksimal yang dimilikinya. Dua pengertian tersebut tentu tidak lepas dari norma-norma syari’at Islam. Orang yang sering menggunakan hartanya untuk kemaksiatan dan kejahatan, baik lahir maupun batin, disebut “golongan manusia boros”. Pemboros, adalah saudara atau teman-teman setan. “Tidaklah setan mempunyai famili, melainkan bangsanya sendiri”.

Allah berfirman: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Al-Israa’ Ayat 27).

Makan dan minum memang tidak dilarang, asal tidak berlebihan. Sesuai dengan firman Allah: “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”. (QS. Al A’raaf, 31).

Atau menurut Hadist Rasulullah SAW: “Makanlah, minumlah, pakailah dan bersedakahlah jangan berlebih-lebihan dan janganlah untuk bermegah-megahan.” (HR Abu Daud dan Ahmad)

Memang, “jalan tengah” adalah yang tidak berlebih-lebihan. Termasuk urusan makan dan minum. Terbukti, penyakit kebanyakan faktor penyebab utamanya adalah berlebihan dalam soal porsi makan dan minum. Sebab, perut biasanya sumber penyakit dan seburuk-buruk tempat.

Ada hadist yang dengan amat bijaknya mengatur urusan perut ini: “Tidak ada satu wadahpun yang diisi oleh bani Adam lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari baiklah sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk napasnya”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Ammarah Sabu’iyyah
Nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah ialah nafsu yang sifatnya seperti binatang buas dalam cara mencari atau memenuhi kebutuhan jasmaninya. Seperti: makan, minum, tidur, kawin, dan sebagainya. Tidak heran, orang yang jalan pikirannya dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah maka dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya ia acap berlaku seperti binatang buas.

Lihat saja tabiat orang yang dikuasai nafsu ammarah berbusana sabu’iyyah: sodok sana, sodok sini! Cengkeram sana, cengkeram sini! Sungguh sangat memprihatinkan. Dengan kekuasaan, mereka merasa tinggi serta dapat menata si miskin. Dengan harta, mereka merasa terhormat kendati berbuat nista dan maksiat. Tahukah mereka apakah sebetulnya harta itu?

Allah berfirman: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu) dan disisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 28).

Memang, sudah menjadi fitrah manusia untuk mencintai dan banyak keinginan dalam meraih kehidupan dunia. Namun demikian, tetap harus dipahami bahwa kenikmatan duniawi hanya sebatas kesenangan di dalam hidup yang fana.

Firman Allah: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali Imran, 14)

Al Qur’an: Obat Mujarab
Pada jiwa setiap manusia memang sudah terdapat benih nafsu ammarah bersifat bahimiyyah maupun sabu’iyyah. Hanya frekuensinya yang berbeda. Maka itu, upaya mengendalikan ruang gerak nafsu ammarah itu perlu, sebagai ikhtiar untuk mencapai kemuliaan rohaniah.

Untuk itu, Allah telah menurunkan Al Qur’an sebagai penawar yang sangat mujarab terhadap penyakit apa saja. Penyakit lahir maupun batin. Bahkan Al Qur’an juga menjadi rahmat bagi setiap orang yang beriman, dan bukan orang yang zalim. Sebagaimana firman-Nya: “Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Israa’, 82).

Penawar Nafsu Ammarah
Penawar nafsu ammarah meliputi tiga tahapan. Yaitu:
 (1) ilmu ma’rifah;
(2) dzikrullah yang kontinyu, dan
(3) mujahadah.

Berkaitan ilmu ma’rifah, hendaklah seseorang belajar ilmu-ilmu tentang sekitar aib nafsu. Untuk itu, tentu perlu bimbingan seorang ulama alias Syekh Mursyid. Ilmu ma’rifah tentu tidak lepas ilmu tauhid. Untuk itu, perlu pengenalan hakikat diri lahir-batin. Jika orang telah mengenal dirinya secara kaffah (sempurna), niscaya ia tidak akan mudah tertipu oleh dirinya sendiri. Sebab, musuh yang paling berbahaya dan pandai menipu adalah diri sendiri. Yang dimaksud diri ialah nafsu fujur (jiwa fasik) alias nafsu ammarah.

Manusia yang tidak mengenal dirinya, lahir maupun batin, akan terombang-ambing oleh tipuan nafsu ammarah. Akibatnya, ia mudah tergiur oleh bujuk rayu setan. Dan setan bersembunyi di dalam dirinya sendiri. Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah, 7-8).

Dzikrullah yang kontinyu juga merupakan sarana pembersih jiwa. Sesuai dengan firman (?) Allah: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat (berhubungan dengan Tuhannya)”. (QS. Al A’laa, 14-15).

Zikir yang terus menerus dapat menenangkan jiwa. Tidak akan tenang jiwa seseorang melainkan jika jiwanya dalam keadaan bersih dari kotoran maksiat. Dan tidak akan bersih jiwa seseorang melainkan dengan menjalankan zikir yang terus menerus.

Dan sebaik-baik dzikrullah bagi orang-orang yang masih pada tahapan pembersihan serta menundukkan nafsu ammarah ialah zikir nafi itsbat: Laa Ilaaha Illallaah (Tidak ada tuhan kecuali Allah). Hal itu harus dilakukan terus menerus. “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berdo’a: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ar-Ruum, 32).

Cara lain: dengan cara mujahadah. Artinya, memerangi hawa nafsu dengan cara menghindari segala bentuk kemaksiatan lahir maupun batin. Juga melawan gejolak kehendak jiwa yang mengajak untuk berbuat nista dan yang menghalangi tujuh anggota sujud.

Jika seseorang telah mengetahui hakikat kehidupan dunia dan menetapkan dzikrullah secara terus menerus, niscaya ia akan selalu kuat jiwanya dalam menghadapi segala kondisi yang memperdayakan. Akal dan pikirannya tidak mengikuti gejolak hawa nafsu yang selalu mengajak berkhayal dan berbuat kejahatan. Maka jika seseorang telah mampu mengendalikan hawa nafsunya, niscaya tampaklah sifat dan perbuatannya tidak dibuat-buat. Atau sekadar terpaksa dalam mengamalkan syari’at Islam.

Tentang hal ini Allah pun berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (QS. Almu’minun, 1-3).

Tiga tahapan yang meliputi ilmu, zikir, dan mujahadah tersebut tentu saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Tidak dapat seseorang mencapai kebersihan diri (nafsu) bila sekadar mengamalkan zikir. Atau mengamalkan salah satu diantara ketiganya.

Sumber: Mursyid Akmaliah

Nafsu Lawwamah


Manusia yang jiwanya telah dikuasai nafsu lawwamah, sifat dan perbuatannya luput dari rasa malu untuk berbuat berbagai kemaksiatan. “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh (mengajak) kamu berbuat jahat dan keji”. (QS. Albaqarah, 169)


Nafsu lawwamah adalah jiwa manusia yang membentuk sikap dan kepribadian. Nafsu lawwamah bersemayam dalam diri manusia setelah melalui proses persenyawaan zat-zat asli kotoran setan yang dinamakan  ananiah (egois/ke-aku-an). Ananiah itu  sendiri terjadi melalui proses persenyawaan zat-zat wahmiyah (angan-angan),  zhinaanah   (tuduhan), karahiyah   (kebencian) dan  akhliyah (khayalan). Zat-zat tersebut bersenyawa dengan zat “makar” (rencana jahat), yang kemudian membentuk zat asli kotoran setan yang disebut dengan “Ananiah”. Berikutnya,  Nur gharizah (naluri) memancarkan cahaya yang kekuatannya mampu merubah wujud ananiah menjadi sikap dan karakter manusia. Karena nur gharizah itu sangat kuat menggempur ananiah, maka terjadilah proses yang menyebabkan perubahan pada wujud ananiah hingga menjadi sosok “nafsu lawwamah”.

Nafsu lawwamah sendiri terdiri atas sifat-sifat  ghadhab (pemarah), ghibah (suka membicarakan aib saudaranya atau orang lain), namimah (suka membuat fitnah), hasud (iri hati alias dengki), ‘ujub (heran diri tanpa disandarkan kepada Allah), takabur (sombong), riya’ (beramal bukan karena Allah), hubbud dunya (cinta dunia),  hubbul maal (cinta harta benda) dan hubbul jaah (cinta tahta).

Jiwa manusia yang telah dipengaruhi nafsu lawwamah, selalu mengajak untuk berangan-angan tentang piranti kehidupan yang berkisar pada tahta, harta dan wanita (baca: pasangan hidup) yang berangkat dari kebutuhan diri dan tanggung jawab keluarga. Tuntutan semacam itu menambah kerasnya kemauan untuk mendapatkan sarana kehidupan duniawi yang serba mewah. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”(QS. Ali Imran, 14)

Akibat lain adalah munculnya sifat dan perbuatan yang cenderung nista, jahat dan fasik.”Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh (mengajak) kamu berbuat jahat dan keji”. (QS. Albaqarah, 169)

Nafsu lawwamah bekerja dengan mempengaruhi akal, menjalar ke perkataan (dusta), mengingkari janji, menghianati amanat yang dipikulnya, dan sangat jahat bila bermusuhan dengan teman.

Manusia yang berjiwa lawwamah mempunyai ciri-ciri sama dengan ciri dan perbuatan setan. Salah satunya, apabila berbuat jahat, keji atau maksiat akan menyesal, namun kembali mengulangi perbuatan tersebut.

“Empat perkara, barangsiapa terdapat pada dirinya lengkap keempatnya,  itulah dia sesungguhnya orang munafik. Dan barang siapa terdapat padanya satu perkara saja, maka ia termasuk munafik juga, hingga ditinggalkannya sifat munafik itu; apabila dipercaya dia khianat; apabila berkata dia dusta; apabila berjanji, dia mungkir; dan apabila bermusuhan, dia sangat jahat”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin Ash ra.)

Sifat Setan
Apabila nafsu lawwamah telah menguasai diri, akan membuat seseorang menjadi labil dalam menempuh perjalanan menuju Allah. Langkahnya tergesa-gesa dan kurang perhitungan dalam menentukan sikap hidup, sehingga menimbulkan penyesalan.

Nafsu lawwamah juga mengebiri akal dan pikir (hati), mengelabui pandangan, menutup pendengaran dan  memanipulasi perkataan sehingga mereka tidak mampu bersyukur dalam arti yang sesungguhnya. Padahal Allah menjadikan pendengaran, penglihatan, akal dan hati untuk manusia agar mereka bersyukur kepada-Nya.

“Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”.(Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur”. (QS. Al-Mulk, 23)

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya). Iblis menjawab: Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dan kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at)”. (QS. Al-A’raaf,  16-17)

Setan dan Iblis
Iblis dan Setan adalah satu rumpun. Keduanya adalah nama atau predikat bagi manusia dan jin yang tidak bersyukur kepada Allah. Tidak ada yang patuh dan tunduk pada perintah iblis, kecuali setan. Bila ia menyelinap dalam angan piker seorang  pejabat, akan membuatnya ketakutan kehilangan karier dan kedudukannya dijatuhkan orang. Bisa pula membangkitkan angan-angan kosong dan mudah curiga pada sesama. Kebijakan yang dikeluarkannya juga  bagaikan pisau bermata satu, tajam kebawah namun tumpul keatas.

Lain lagi gaya  setan ketika menggoda seorang hartawan. Yaitu munculnya ketakutan akan bayangan kemiskinan yang dapat menimpa dan juga membuatnya malas  mengeluarkan zakat dan sodakoh. Sifat bakhil (kikir) mewarnai hidupnya, sehingga enggan menyantuni anak yatim dan fakir-miskin. Yang berkecamuk dalam benaknya hanya pikiran tentang kesejahteraan diri, keluarga dan saudara serta kerabat kandungnya. Dan bila ia mengalir dalam pembuluh darah kaum wanita, niscaya merobek-robek setiap jengkal pakaiannya, mengumbar tubuhnya yang terlarang dan membisikan kata-kata merdu untuk berbuat nista.

Setan juga menggelitik jiwa orang miskin dengan kesibukan membandingkan hidupnya yang berkekurangan dengan mereka yang kaya, sehingga mendorong untuk berbuat jahat dengan mengambil hak orang lain. Setanpun mempengaruhi manusia dengan tipu-dayanya yang memabukkan, menyeret manusia kelembah kesesatan, dan menjauhkannya dari rahmat Allah.

“Dan Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. Annisaa, 60)
“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (QS. Annisaa, 120)
“Kalau tidak karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebahagian kecil saja (diantaramu)”.(QS. Annisaa, 83)

Disatu sisi setan tidak pernah jemu dan bosan menggoda dan menyesatkan, namun disisi lain ia akan segera meninggalkan korbannya yang telah mengikuti ajakannya. Wujud setan dapat berubah-ubah sebagaimana manusia yang sifatnya juga berubah-ubah. Dan apabila ia telah bersemayam dalam jiwa manusia, niscaya yang lahir pada manusia tersebut adalah perbuatan keji dan mungkar.

Wujud keberadaan setan sulit diketahui oleh orang yang hidupnya selalu disibukkan dengan urusan dunia,  dan oleh orang yang tidak menganggap setan sebagai musuh. Biasanya setan membisikan godaannya dengan memutar-balikan hukum-hukum Islam. Perbuatan jahat dikatakan baik, perbuatan baik dikatakan jahat. Sesuatu yang bathil menjadi hak, dan sebaliknya. Begitu seterusnya. Membuat manusia bimbang dalam memutuskan sesuatu menyangkut urusan akidah dan amal ibadah, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum kemaslahatan. Demikianlah sifat setan dari jenis jin dan manusia yang sangat nyata tipu dayanya serta menjadi musuh orang-orang yang beriman.

“Dan demikian Kami  jadikan tiap-tiap nabi  itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (Manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’aam, 112)

Setan itu pada dasarnya ada. Hanya saja keberadaan setan itu abstrak dan gaib dari penglihatan orang-orang yang belum mengetahui dan mengenal hakikat setan. Bila kita mau mencari dan memahami “apa itu setan”, niscaya akan menemukan sosok setan pada sebuah sifat bagi wujud makhluk dimensi alam nyata yaitu “manusia” dan wujud makhluk dimensi alam gaib yaitu “jin”. Yang selalu menentang perintah-perintah dan melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah.

Ironisnya di zaman sekarang, sebagian manusia tidak mengetahui dan mengenal hakikat setan yang menjadi musuh manusia (khususnya orang-orang yang beriman). Permusuhan antara manusia dengan setan diawali semenjak zaman syurgawi hingga duniawi. Kini dan yang akan datang setan bertekad untuk menyesatkan manusia. Ia datang dan pergi mengenakan busana tipudaya dengan menaburkan aroma syahwat kehidupan duniawi.

Perlu digaris-bawahi, setan itu bukanlah sebangsa “roh gentayangan” atau “dedemit”, tetapi yang sebenarnya adalah moral manusia dan jin. Karena nama tersebut hanyalah mensifati perbuatan makhluk dari golongan bangsa manusia dan bangsa jin. Dua golongan makhluk yang menyandang predikat setan itu disebabkan perbuatannya melanggar hukum yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Apakah layak mereka disebut setan? Jika tidak, maka dapat kita tarik kesimpulan: bahwa predikat yang diberikan kepada mereka itu hanyalah kiasan dan pengertian dari “setan golongan manusia”, bukan setan yang sesungguhnya sebagaimana yang dibayangkan wujud dan bentuknya yang seram.

Dengan demikian ada nama-nama setan dari golongan manusia dan dari golongan jin. Syaithanul insi adalah predikat setan dari bangsa manusia, antara lain: musyrikun (orang-orang yang menyekutukan Allah);  kafirun (orang-orang yang mengingkari Allah);  zhalimun (orang-orang yang aniaya);  fasiqun (orang-orang yang keluar dari jalan yang benar); munafiqun (orang-orang yang munafiq, penipu dan berpura-pura) dan murtadun (orang-orang yang keluar dari agama Islam). Sedangkan syaithanul jin merupakan predikat setan dari bangsa jin, yaitu iblis (bangsa jin yang ingkar kepada Allah) dan  thoghut (bangsa jin yang melampaui batas atau aniaya ).

Tidak disebut setan, baik dari golongan manusia atau jin, kecuali melanggar ketentuan hukum-hukum Islam yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mari perhatikan beberapa firman Allah yang menerangkan hakikat setan:

“Katakanlah: Aku berlindung kepada tuhan manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) yang biasa bersembunyi, yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia”. (QS. Annaas, 1-6)

“Dan demikian Kami  jadikan tiap-tiap nabi  itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) Jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (Manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’aam, 112)

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(QS. Ali Imraan, 175)

Dari firman Allah tersebut jelas bahwa yang namanya setan bukan hanya dari golongan jin saja, tetapi juga dari golongan manusia.
Perlu dilengkapi disini bahwa setan juga bukan semacam roh gentayangan yang selalu menakut-nakuti manusia ditempat-tempat yang dianggap angker. Setan ialah nama bagi mereka yang berbuat kejahatan dan kemaksiatan. Minum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala atau sesajen, mengundi nasib dan merupakan perbuatan setan. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu dapat keberuntungan”. (QS. Al Maaidah, 90)
Firman Allah tersebut menambah jelas tentang hakikat setan.  “Apabila memang benar bahwa setan itu adalah sebangsa roh halus yang suka gentayangan dan bertempat ditempat-tempat yang dianggap angker, maka siapakah yang sebenarnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk selain Allah, dan mengundi nasib?” Jawabannya, “syaithanul insi” (setan dari golongan manusia).

Pada dasarnya setiap manusia dapat berubah sifatnya menjadi sifat setan. Hakikat setan dari golongan manusia ialah orang-orang musyrik, kafir, zalim, fasiq, munafik dan orang yang murtad. Mereka disebut setan dalam masalah keyakinan, sifat, sikap dan perbuatan. Sebagaimana pada masa syurgawi, predikat iblis disandangkan kepada abuljan (bapak jin) yang juga disebut  sayidul malaikat (penghulu malaikat). Abuljan disebut iblis karena melanggar dan menentang perintah Allah tatkala disuruh sujud kepada Nabi Adam as.

Sifat dan perbuatan setan dari jenis manusia antara lain adalah mananamkan kebencian, dendam, dan menimbulkan permusuhan diantara sesama hingga diakhiri dengan saling bunuh, baik dalam arti yang sebenarnya maupun kiasan. Manusia setan itulah yang selalu menimbulkan kedengkian terhadap saudara, tetangga sebelah, teman dan masyarakat hingga timbul fitnah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dikalangan ummat.

Salah satu penunjang kemaksiatan yang digunakan setan manusia ialah harta. Harta yang menjadi alat utama setan untuk merayu manusia. Kemudian, setan menyuruh manusia untuk berbuat kikir, berlebihan dalam mempergunakan harta, boros dan menghambur-hamburkan hartanya dijalan setan. Padahal pemboros adalah saudara setan yang selalu ingkar kepada tuhannya.

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Israa,  Ayat 27)

Maka, apakah  patut bagi manusia yang mempunyai derajat sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya berteman dan bergaul dengan setan-setan yang berderajat rendah dan hina dari sekian banyak makhluk ciptaan-Nya? Hanya orang-orang yang beriman yang menjadikan setan-setan itu sebagai musuh. Mereka tidak memberi kesempatan kepada setan untuk masuk dan singgah ke dalam jiwanya. Karena orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa tidaklah setan mengambil teman melainkan dari bangsanya sendiri. Setan adalah seburuk-buruk teman. Dan hanya manusia yang bermoral rendah yang menjadikan setan-setan sebagai pelindung-pelidung selain Allah. Apakah manusia tidak mengetahui bahwa setan itu adalah salah satu makhluk yang sangat rendah derajatnya disisi Allah.

“Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah setan yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Albaqarah, 257)

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak segolongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”  (QS. Faathir, 6)

 “Barangsiapa yang mengambil setan itu menjadi temannya, maka setan itu adalah teman yang seburuk-buruknya”.  (QS. Annisaa, 38).

 Sumber: Mursyid Akmaliah

HIJAB

Menelusuri Makna Hijab

Wilayah penting dalam kajian tauhid dan hakikat adalah bahasan tentang hijab. Karena hijab dengan segala bentuk dan ragamnya adalah penghalang menuju Allah. Selama ini uraian tentang hijab kerap diambil dari sisi lahiriah (fiqih) saja. Padahal substansi utama hijab itu meliputi sisi batiniah.

Istilah hijab
Menurut bahasa, hijab berarti tirai atau pemisah (saatir atau faasil). Al Quran menyatakan: "Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka." (Al Ahzab: 53). Hijab dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada di rumah Nabi saw, yang berfungsi sebagai sarana penghalang atau pemisah antara laki-laki dan perempuan, agar mereka tidak saling memandang.

Hijab berasal dari akar kata h-j-b; bentuk verbalnya (fi'il) adalah hajaba, yang diterjemahkan dengan "menutup, menyendirikan, memasang tirai, menyembunyikan, membentuk pemisahan, hingga memakai topeng."

Selanjutnya hijab diterjemahkan menjadi "tutup, bungkus, tirai, cadar, layar, dan partisi." Bahkan terdapat kata yang sama namun merujuk pada makna jimat-jimat yang dibawa orang (biasanya anak-anak kecil) untuk melindungi diri dari bahaya. Derivatif lain dari kata Hijab adalah hajib, berarti alis mata atau pelindung mata dan juga merupakan kata yang dipakai selama periode kekhalifahan untuk para pejabat yang menyeleksi para pendatang yang ingin bertemu dengan khalifah.

Hijab dalam perkembangan maknanya, menjadi satu istilah untuk pakaian wanita yang menutupi aurat. Burqu, 'abayah, tarhah, burnus, jellabah, hayik, milayah, gallabiyah, disydasya, gargush gina', mungub, listma, yaskhmik, habarah, izar, adalah nama-nama dari penutup aurat. Beberapa di antara nama-nama tadi merujuk kepada penutup muka saja, seperti, qina', burqu', niqab, litsmah. Sedangkan makna hijab yang lain merujuk kepada penutup kepala saja, yang kadang-kadang digunakan pula untuk menutup sebagian muka, misalnya khimar, sitara, 'abayah, atau imamah. Penutup aurat tersebut di beberapa negara memiliki nama-nama yang berbeda. Burqa atau burqu misalnya, adalah penutup aurat yang biasa dipakai oleh wanita Afghanistan. Sementara wanita Arab Saudi menggunakan hijab dengan nama Abbayah. Chador dipakai oleh wanita Iraq dan Iran (sangat mirip dengan Abbayah). Kemudian Ruband dipakai wanita Turki di tahun 20 atau 30-an, dan Bushiyyah, hijab yang banyak digunakan saat beribadah haji.

Dalam tradisi masyarakat Islam Indonesia, istilah hijab lebih sering digunakan hanya untuk memisahkan ruangan, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Sedangkan hijab dalam pengertian penutup aurat di Indonesia biasa disebut dengan kerudung atau jilbab. Namun meski demikian, semua nama-nama tersebut sama-sama memiliki makna hijab yaitu penutup atau penghalang.

Al Quran banyak menjelaskan kata hijab atau yang berkaitan dengan hijab berikut ragam maknanya. Misalnya pada surat Asy Syuura ayat 51, hijab diartikan dengan tirai:

وَمَاكَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُكَلِّمَهُ اِلاَّ وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَآئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلاً فَيُوْحِىَ بِإِذْنِهِ مَايَشَآءُ اِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ . الشّوري

"Dan tidak ada bagi manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tirai atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana."

Sementara pada surat Al Ahzab ayat 53, hijab diartikan tabir:

وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَآءِ حِجَابٍ  ذَالِكُمْ اَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ . الاحزاب

"Dan apabila kamu meminta suatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada mereka dari belakang tabir, cara yang demikian itu terlebih suci bagi hatimu dan hati mereka."

Pada surat Fushshilat ayat 5 ketika menyebutkan kata hijab. Pada ayat ini hijab dimaknai dinding.

وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا فِى اَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ وَفِى آذَانِنَا وَقْرٌ وَّمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ اِنَّنَا عَامِلُوْنَ

"Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan yang menutupi apa yang kamu serukan kepadanya dan di telinga kamu ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu sesungguhnya kami bekerja pula.”

Dengan makna yang sama, hijab juga dijelaskan pada surat Al Israa’ ayat 45, yaitu "Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup" (Al Israa': 45)

Kemudian hijab juga disebutkan pada surat Al-A'raf ayat 46, kali ini hijab diartikan dengan batas:

وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ . الاعراف

"Dan di antara keduanya (ahli syurga dan ahli neraka) terdapat batas."

Bahkan dalam surat Shaad kata hijab diartikan dengan hilang atau lenyap, "Maka ia berkata:

"Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan." (Shaad : 32)

Pengertian hijab yang terurai pada setiap ayat di atas, menjelaskan tentang hijab dari sisi lahiriah (fikih). Sedangkan dalam pembahasan kali ini, Kasyaf mengajak untuk memahami hijab yang dalam perspektif batiniah dan meliputi wilayah-wilayah ruhaniah.

Memahami hijab
Menurut para ahli Tasawuf, hijab diartikan sebagai tirai yang mendindingi antara hamba dengan Allah, sehingga seorang hamba menjadi terhalang dalam memandang-Nya. Dalam hal ini Syekh Abdul Qadir Al Jailani ra. menegaskan pengertian hijab adalah: "Tabir yang menutupi pandangan atau penglihatan manusia". Secara spesifik hijab yang dimaksud adalah menutupi pandangan mata hati. Artinya, apabila hijab menyelimuti hati seseorang, maka mata hatinya menjadi buta, dan ketika seseorang buta mata hatinya, ia tidak mampu menyaksikan hakikat sesuatu, karena kemampuannya hanya sebatas pada pandangan yang lahiriah. Dalam hal ini, Al Quran menjelaskan :

وَمَنْ كَانَ فِى هَذِهِ اَعْمَى فَهُوَ فِى اْلاَخِرَةِ اَعْمَى وَاَضَلُّ سَبِيْلاً . الاسراء

"Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)." (Al Israa’: 72)

Mengenai penyebab kebutaan mata hati, Syekh Abdul Qadir Al Jailani ra. menerangkan: "Penyebab buta mata hati seseorang adalah karena mengikuti hawa nafsu dan kebodohan dirinya." Karena itu tidak sedikit orang yang buta mata hatinya, kendatipun secara fisik sehat dan memiliki kecerdasan intelektual.

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى اْلاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَا اَوْ اَذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَا  فَاِنَّهَا لاَ تَعْمَى اْلاَبْصَارَ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِى فِى الصُّدُوْرِ . الحج

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi hingga mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukan mata itu yang buta tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. " (Al Hajj: 46).

Bagi para pejalan menuju Allah, menyingkap hijab menjadi keharusan, karena selama pandangan seorang salikin masih terhijab selama itu pula tidak akan pernah mampu melihat dan menyaksikan Allah.

Namun, menyingkap hijab bagaikan mengupas kulit bawang yang berlapis-lapis. Setelah satu hijab berhasil dibuka, ternyata masih ada lapisan lainnya yang belum terbuka. Karena itu, semakin dalam hijab disibak akan semakin terbentang luas lautan hakikat.

Berbahagialah orang yang berhasil menyingkap hijab. Apabila hijab kegelapan telah tersingkap maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerangi hatinya sehingga segala rahasia ketuhanan akan terbuka melalui penglihatan mata hatinya  bashiratul qalb).
Sumber: Mursyid Akmaliah

Pergulatan Menyibak Hijab

Semua manusia, hakikatnya berjalan menuju Allah. Namun jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah, karena di sana terhampar ribuan hijab yang menghalangi. Untuk itu, dibutuhkan ketangguhan iman dan ilmu agar dapat memenangkan pergulatan demi pergulatan dalam menyibak hijab, sehingga selamat sampai di Mahligai-Nya.

Anugerah terbesar bagi seorang hamba adalah ketika bisa mengenal dan berjumpa dengan Allah. Ketika itu tidak ada lagi istilah predikat hamba dan Tuhan, yang ada adalah ke-Esa-an wujud-Nya. Tetapi untuk bisa berjumpa dengan Allah, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu beramal shaleh dan tidak syirik dalam beribadah walau dengan seorang juapun. Sebagaimana firman-Nya:

 فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَّلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا . الكهف

"Barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya maka beramal shaleh dan tidak menyekutukan seorang jua pun dalam ibadahnya." (Al Kahfi: 110).

Dalam mukadimah kitab Ad-Durun Nafis dijelaskan salah satu yang dapat menghalangi untuk sampai kepada Allah adalah syirik, baik syirik jali (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi). Tidak sedikit orang yang syirik dalam menjalankan ibadah, seperti berharap kepada selain Allah, padahal seorang hamba hanya boleh berharap kepada Allah.

Syirik dapat menutup dan membutakan mata hati seseorang hingga terhijab. Akibatnya, seseorang tidak dapat memandang hakikat di balik yang dipandang dan hanya terjebak pada pandangan lahiriah. “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Al Israa': 72).

Buta yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukan buta lahiriah melainkan buta secara batiniah, yaitu buta mata hati. Buta mata hati menyebabkan seseorang tidak memiliki kepekaan menangkap tanda-tanda kebesaran Tuhan, sehingga tidak dapat menyaksikan keindahan sifat-sifat Allah yang bertebaran di wilayah ruhani dan duniawi. "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal." (Ali 'Imran: 193).

Syahwat duniawi
Ada dua faktor yang dapat menghijabi hamba dalam memandang Allah, yaitu syahwat duniawi dan syahwat ruhani. Dua syahwat tersebut berpotensi menjadi hijab seseorang, antara lain keinginan untuk meraih derajat dunia dan akhirat. Dunia kaitannya dengan adat tabiat, sedangkan akhirat berkaitan dengan derajat ruhani.

Syahwat duniawi ialah rasa cinta yang berujung ingin memiliki dan menguasai apa saja yang ada di sekeliling kehidupannya. Akibatnya, seluruh ruang hatinya dipenuhi oleh rasa cinta sesuatu hingga lupa kepada Allah. Contohnya: rasa cinta yang tumbuh kepada suami, istri, anak, harta, dan lain sebagainya seperti diisyaratkan dalam firman-Nya:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ لنِّسَآءِِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ  ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا  وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ . ال عمران

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali 'Imran: 14).

Ketika seorang suami sangat mencintai istrinya, kemudian dengan cintanya itu sampai lupa memandang Allah, maka perempuan tersebut menjadi hijab bagi suaminya. Selama seorang suami mencintai istri, tidak mungkin mencintai Allah. Begitu juga sebaliknya, seorang istri yang mencintai suaminya, tidak akan bisa mencintai Allah. Sesungguhnya Allah itu pencemburu. Jika ada seorang hamba yang berani mengambil resiko dengan mencintai selain diri-Nya, maka jangan harap akan sampai keharibaan-Nya. Tapi jika suami istri tersebut menerapkan cintanya sesuai dengan kaidah tauhid, yakni sebagai penjabaran dari cintanya kepada Allah, maka cintanya itu tidak menjadi hijab, bahkan bisa menjadi pemicu untuk merobek tirai-tirai Ilahi.

Syahwat ruhani
Di samping syahwat duniawi, ada pula syahwat ruhani yang menjadi hijab. Syahwat ruhani itu bersifat kemegahan dan kenikmatan akhirat, termasuk di dalamnya keinginan untuk mendapatkan rahasia-rahasia yang ada wilayah ruhaniah. Seperti mendambakan derajat ruhani yang tinggi sampai ma'rifah, mendapat anugerah bisa keluar masuk alam jin, jadi waliyullah yang bisa bertamasya melihat-lihat syurga dan neraka, bahkan ingin jadi orang yang sempurna di wilayah ruhani dan sebagainya. Semua keinginan tersebut, sekalipun baik maksudnya, namun bisa menjadi hijab bagi orang yang sedang menuju Allah. Karena keinginan tersebut merupakan angan-angan yang muncul dari syahwat yang tersembunyi (syahwatul khafiah). Hal itu juga dapat memalingkan perjuangan orang yang menuju Allah.

Cinta & Hijab
Pertama kali Allah menebar hijab adalah ketika Adam as. dan Hawa diciptakan. Dalam hubungan Adam-Hawa itulah mula-mula adanya gambaran jelas tentang hijab. Kemudian contoh perbedaan pendapat antar para Malaikat ketika menyikapi penciptaan manusia. Perbedaan berlanjut di syurga tatkala para Malaikat di perintahkan untuk menghormati Adam as. Ternyata ada Malaikat yang menolak, karena dirinya merasa lebih tinggi derajatnya dari manusia. Ketidakpatuhan Malaikat tersebut akibat terhijab oleh keangkuhannya.

Tidak hanya sampai di situ, ternyata Allah pun memberi rambu-rambu di syurga, tatkala Adam as. dipertemukan dengan Hawa, sebagaimana dibentangkan larangan untuk tidak mendekati sebatang pohon, yang ternyata berbuah khuldi. Pergulatan Adam as. dalam menghadapi larangan Allah, tidaklah ringan. Karena di sana Adam as. diuji cintanya kepada Hawa sekaligus kepatuhannya pada Allah. Sejarah mencatat, ternyata keimanan Adam as. dapat diruntuhkan oleh rasa cintanya kepada Hawa, sehingga ia berani mengambil resiko untuk memetik buah khuldi. Itulah hijab cinta yang ada pada diri Adam as.

Pelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Bahwa mencintai suami atau istri wajib dilandasi oleh kepatuhannya kepada Allah, bukan sebatas cinta yang dipicu oleh syahwat.
Pada kasus lain, dapat dilihat dalam sejarah Nabi Ibrahim as. dengan anaknya Nabi Ismail as. Betapa berat pergulatan batin Nabi Ibrahim as. ketika beliau harus meninggalkan istri dan anaknya yang baru dilahirkan, untuk memenuhi panggilan Allah berdakwah ke negeri lain. Selama bertahun-tahun Siti Hajar harus berjuang membesarkan anaknya seorang diri di tengah padang pasir yang tandus. Pergulatan batin Siti Hajar pun tidak ringan. Tidak hanya sampai di situ. Ujian bagi Nabi Ibrahim as. dan Siti Hajar berlanjut dengan turunnya perintah Allah pada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih anak semata wayang yang baru dijumpainya. Namun karena Nabi Ibrahim as. sangat patuh dan mengutamakan kecintaannya kepada Allah, ketimbang kecintaannya kepada anak dan istrinya, maka luluslah Nabi Ibrahim as. dalam ujian tersebut.

Sejarah itu merupakan tonggak awal munculnya ibadah nusuk (pengorbanan), yang kini disempurnakan menjadi ibadah haji. Nabi Muhammad saw. pun banyak mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. yang dikenal sebagai Abu Tauhid (bapak ahli tauhid).

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا  وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ . النحل

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." (An Nahl: 123).

Dengan semakin majunya peradaban manusia, yang dibarengi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan pengetahuan, ternyata tidak serta merta membuat manusia menjadi tambah santun dalam menghadapi konflik kehidupan. Berbagai persoalan kerap dinilai hanya sebatas lahiriahnya. Itu adalah salah satu akibat dari kesibukan mengurus kebutuhan duniawi yang tak ada habis-habisnya, sehingga kekurangan waktu untuk merenung dan menyadari keberadaan Allah di setiap kejadian.

Bagaimana mungkin bisa mendekatkan diri pada Allah (taqarrub), selama hati seorang salik masih diliputi oleh rasa cinta kepada istri, suami, anak, keluarga, harta benda dan sebagainya. Karenanya, “ceraikan” semua itu dari dalam hati, cukup ditempatkan dalam jiwa. Cintailah Allah dengan sepenuh hati, jangan biarkan sesuatu selain Allah memenuhi hati. Karena hati orang yang beriman itu rumah Allah. Rumah Allah haruslah bersih dari segala sesuatu selain diri-Nya. Sebab anak, istri, suami, harta, pangkat, dan jabatan itu bisa menjadi hijab untuk mencintai Allah dan sekaligus menjadi ujian dan cobaan.

اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ  وَاللهُ عِنْدَهُ اَجْرٌ عَظِيْمٌ . التغابن

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At Taghaabun: 15).

Karena itu, jangan mudah terpesona pada segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Karena dunia diciptakan sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Bagi para ahli tasawuf, dunia bahkan dianggap sebagai penjara yang terlaknat. Sebagaimana yang tertera pada kitab Siarus Salikin: "Dunia itu terlaknat, bagi barangsiapa yang ada di dalamnya, maka ia akan ikut terlaknat, kecuali yang berada di jalan Allah.”

Pada hakikatnya seseorang tidak bisa menguasai dunia, karena apa yang dimiliki hanya sebatas yang dipakai, seperti baju dan perhiasan. Begitu pula rumah mewah, hanya bisa dinikmati sebatas yang ditempati. Singkatnya, apa saja yang ada pada seorang hamba hakikatnya milik Allah. Karena itu, jalan terbaik satu-satunya adalah mengembalikan semuanya kepada Allah.

Ribuan hijab
Banyak hal di dunia ini dapat menjadi hijab bagi seseorang dalam memandang Allah. Dalam hadis qudsi dinyatakan: "Bahwa Allah menghijabi diri-Nya dengan 70.000 hijab." Pengertian 70.000 hijab jangan dipahami secara lafzhiah (tekstual), namun lebih tepat dipahami secara maknawi (subtansi). Artinya, bahwa Allah sengaja menciptakan ribuan hijab, supaya orang yang berjalan menuju kepada-Nya melakukan perjuangan menyingkap hijab. Sehingga, kualitas keimanan dan keyakinan seseorang teruji.

Perjuangan untuk berjumpa dengan Allah dengan segala rintangannya diibaratkan orang mencari mutiara di laut. Untuk mendapatkan mutiara berkualitas baik, seseorang harus mampu menyelam sampai ke dasar. Padahal semakin dalam menyelam, panorama laut semakin indah. Meski ikan berwarna warni dan karang yang mempesona terkadang menyimpan bahaya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Dan bagi siapapun yang tidak waspada, semua itu dapat melenakan dan membuat lupa pada tujuan utamanya (mendapatkan mutiara).

Ungkapan di atas merupakan metafor yang menyiratkan betapa sulitnya proses menyingkap hijab dalam perjalanan menuju Sang Khaliq. Sesungguhnya bukan sesuatu yang menghijabi Allah, bukan pula sesuatu yang menjadikan Allah majhul (bodoh), melainkan pandangan seorang hamba yang terhijab. Hakikatnya yang menjadi hijab adalah zhan (baca: zon atau prasangka), apakah itu prasangka baik atau pun prasangka buruk dalam memandang sesuatu. Allah sendiri menyuruh hamba-bamba-Nya untuk menjauhi prasangka.

يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ  اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ . الحجرات

"Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian dari sangka-sangka adalah dosa." (Al Hujuraat: 12).

Sesungguhnya Allah tidak terhijabi. Namun manusia dengan segala keterbatasan pandangnya yang kerap membuat Allah terhalang. Hal itu bisa terjadi karena zhan atau prasangka yang dibiarkan tumbuh subur dalam hati dan pikirannya. Padahal zhan atau prasangka itu ibarat virus kanker yang mematikan. Sekecil apapun pemunculannya, harus diwaspadai dan segera diambil tindakan agar penyebarannya tidak menjalar ke seluruh tubuh.

Zhan atau prasangka tersebut muncul dalam berbagai sendi kehidupan. Di antaranya pangkat, jabatan, materi, anak dan masih banyak lagi. Kelebihan maupun kekurangan fisik juga termasuk zhan yang terkadang membuat seseorang salah persepsi terhadap Allah. Kecantikan berlebih dapat memunculkan kesombongan, sementara cacat fisik bisa membuat seseorang sibuk merasa rendah diri sehingga tidak sempat mencari tahu makna dari rencana penciptaan Yang Maha Kuasa. Untuk menjernihkan hati dan mengembalikan kesadaran, perlu proses panjang melalui riyadhah dan mujahadah.

Wujud hijab
Hijab itu pada hakikatnya tidak berwujud, karena tidak ada wujud apapun selain wujud Allah. Sebagaimana Syekh Ibn 'Athaillah menyatakan: “Dan salah satu yang menunjukkan wujud Ke-Maha perkasaan Allah adalah terhijabnya kamu oleh sesuatu yang sebenarnya tidak ada wujudnya.”

Para arifin billah telah sepakat bahwasanya sesuatu selain Allah hakikatnya 'adam mahdhi. Artinya: tidak ada wujud yang berdiri dengan sendirinya, melainkan manifestasi dari wujud-Nya. Apabila menganggap ada wujud yang berdiri sendiri selain wujud Allah, berarti telah terjebak pada syirik dan hilanglah kemurnian tauhid yang sesungguhnya. Faktor penyebab hijab bagi orang yang menuju kepada Allah adalah memandang wujud selain Allah itu ada.

Allah menciptakan segala wujud akwan (keadaan) ini dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Karena wujud tiap sesuatu itu hakikatnya adalah dengan-Nya, bagi-Nya dan serta-Nya. Alam semesta hakikatnya 'adam (tidak ada). Keadaan apapun hakikatnya juga tidak ada, karena yang maujud (ada) hanya Allah. Karena wujud alam pada hakikatnya tidak ada. Jika menjadi ada dalam pandangan seseorang, maka itulah yang menjadi hijab dalam memandang wujud Allah. Syekh Abul Hasan As Sadzili ra. berkata,“Bahwasanya kami memandang Allah dengan mata iman dan yaqin. Hal itu telah menjadi alasan kami untuk senantiasa memandang Allah. Dan kami bertanya tentang keberadaan makhluk, adakah wujud makhluk sebagai sesuatu selain Allah? Jawabnya, ternyata kami tidak menemukan wujud selain Allah. Apabila ada wujud selain Allah, maka hal itu merupakan sebuah fatamorgana yang bila dicari dan dikejar tidak akan ditemukan.”

Pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang mendindingi Allah, kecuali diri makhluk itu sendiri. Kalau ada yang menganggap Allah terhijabi, berarti orang tersebut belum mengerti hakikat hijab. Bagaimana mungkin Allah bisa dihijabi oleh sesuatu, padahal Allah Maha segala-galanya. Kalau Allah terhijab sesuatu, berarti ada suatu kekuatan lain yang mampu menghijabi Allah. Kalau ada sesuatu yang lebih kuat menghijabi Allah, berarti Allah majhul (terpedaya), berarti juga ada yang lebih dominan daripada Allah. Maha suci Allah dari sangkaan orang-orang yang tertutup mata hatinya.

Kedekatan-Nya Bagaimana Allah terhijabi sementara Dia begitu dekat kepada hamba-hamba-Nya.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ  وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ . ق

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaaf: 16 ).

Ayat tersebut menegaskan keberadaan Allah yang sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya. Jika dibuat misal, maka kedekatan Allah dengan hamba bagaikan ruh dengan jasad. Bagaimana bisa, jasad mencari ruh, sementara ruh meliputi jasad. Ruh tak akan tampak tanpa adanya jasad. Jasad tak akan hidup tanpa adanya ruh. Kendatipun dua hal tersebut berbeda wujud, namun hakikatnya satu dalam arti melengkapi pada kenyataan wujud. Tergantung dari sisi mana melihatnya. Apapun yang terlalu dekat, bisa menjadi hijab. Begitu juga sebaliknya, sesuatu yang jauh juga bisa tidak terlihat. Maka tidak terlihat itu juga hijab.

Sengaja Allah menciptakan hijab bagi diri-Nya di balik alam semesta ini, karena tidak ada yang mampu menghijabi Allah kecuali Allah. Karena hakikatnya tidak ada suatu apapun melainkan perwujudan-Nya.

Allah menghijabi diri-Nya dengan berbagai cara, di antaranya dengan menciptakan akal dan nafsu. Akal dapat menjadi hijab bagi hamba dalam memandang Allah karena akal bersandar kepada dalil-dalil logika yang rasional. Dengan rasionalitasnya akal akan menuntut fakta yang riil dan menolak hal-hal yang bersifat abstrak dan irasional. Sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal, tidak riil dan tidak rasional, dianggap sebagai kemustahilan bagi akal. Disitulah munculnya hijab. Sementara akal dan rasio tidak akan mampu menjangkau kedalaman wilayah ketuhanan. Ada keterbatasan-keterbatasan yang membelenggu akal dan rasio dalam memahami wilayah ketuhanan. Karena keterbatasannya itu, maka dalam memahami wilayah ketuhanan harus memakai akal yang didasari iman.

Sedangkan nafsu dapat menjadi hijab dalam memandang Allah karena nafsu menghendaki kesenangan duniawi semata. Maka bagi orang yang terpedaya dengan nafsunya niscaya akan sulit memandang Allah. Sebab salah satu karakter nafsu adalah selalu mengajak untuk berpaling dari Allah.

Sesungguhnya hijab adalah selimut diri-Nya. Di balik hijab tersimpan sebuah rahasia wujud Kemahaperkasaan-Nya dan ke-Elokan-Nya. Jika seorang hamba telah menyingkap hijab maka akan menemui dirinya fana (sirna) dan bersemayam di baqabillah (kekal dengan Allah).

Setelah memahami berbagai hijab, baik hijab dunia maupun hijab ruhani, dapat dimengerti betapa hidup seorang hamba dipenuhi oleh pergulatan demi pergulatan untuk menyingkap hijab. Di manapun, kapanpun, bahkan dalam setiap tarikan nafasnya. Adalah merupakan sebuah anugerah, bila diberi kemampuan dapat mencermati setiap pergulatan menuju kepada-Nya. Karena sesungguhnya hanya Allah sajalah yang dapat menyingkap hijab-hijab wujud-Nya.

Sumber: Mursyid Akmaliah

Kunci Menyibak Hijab

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyibak hijab, terutama bagi setiap orang yang berjalan menuju Allah (salik). Sebab ketika seseorang tidak mampu menyibak hijab, berarti selama itu pula dia tidak bisa lepas dari jeratan syirik, baik syirik jail (nyata) maupun syirik khafi (tersembunyi).

Syarat utama untuk berjumpa dengan Allah adalah tidak syirik, teristimewa menjalankan ibadah. Perjuangan yang harus terus dilakukan ialah mencari cara agar mampu menyibak hijab itu sendiri.

Seperti diketahui, yang selalu mengajak orang berpaling dari Allah adalah nafsu yang ada di dalam diri, terutama nafsu ammarah, lawwamah dan sawwalat (uraian tentang nafsu dapat dilihat pada Kasyaf Edisi ke-1). Nafsu, meski di satu sisi berfungsi menggairahkan hidup, namun jika tidak dikendalikan dan tidak dikembalikan kepada Allah, dapat menyeret seseorang pada tipu daya kehidupan dunia.

Nafsu dapat membuat batin terombang-ambing, karena desakan beragam peristiwa, keadaan, keinginan dan ambisi. Dalam situasi itu, pandangan seseorang akan mudah terhijab (terdindingi) dan berpaling kepada selain Allah. Untuk itu dibutuhkan kemampuan mengendalikan nafsu agar tidak terhalang dalam memandang Allah. Karena ketika nafsu tidak mampu dikendalikan, maka nafsu tersebut akan menguasai diri sepenuhnya, bahkan dapat menjadi tuhan selain Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلَهَهُ هَوَـهُ وَاَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً  فَمَنْ يَّهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ  اَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ .

"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (Al Jaatsiyah: 23).

Pada saat nafsu telah menguasai diri, itu pertanda hijab telah menutupi pandangan hati, juga tidak menutup kemungkinan akan merambah ke pendengaran, penglihatan dan akal. Pada akhirnya, penglihatan tidak mampu menyaksikan keindahan sifat Allah, pendengaran tidak mampu merasakan dahsyatnya ayat-ayat Allah, dan akalnya tidak mampu menerima percikan cahaya Ilahi. Itu semua adalah tanda dari orang yang sedang disesatkan Allah. "Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus." (Al An'aam: 39).

Salah satu cara untuk menyingkap hijab adalah dengan jalan mengendalikan nafsu dan mematikannya. Dalam hadis Nabi saw. menganjurkan:

مُوْتُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تَمُوْتُوْا

"Matikan nafsumu sebelum kamu mati." (tertera pada Kitab Addurun Nafis).

Orang yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya, akan memiliki pandangan yang jernih dalam menatap Wujudul Haq (wujud Allah). Diumpamakan bagai telaga yang airnya jernih, tampak jelas keindahan semua isinya. Sebaliknya, telaga yang airnya kotor tidak terlihat apapun, kecuali hanya kekeruhan. Orang yang dapat menahan diri dari keinginan hawa nafsunya dan takut Tuhannya, akan memetik keindahan syurga.

"Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurga sebagai tempatnya." (An Naazi’aat: 40-41).

Orang-orang seperti itulah yang akan dapat menikmati keindahan syurga, yaitu terbukanya tirai Ilahi. Barangsiapa rindu berjumpa dengan Allah, hendaklah menahan diri dari mengikuti hawa nafsu. Berbahagialah orang-orang yang telah membersihkan jiwanya dari keterikatan hawa nafsu.

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri, dan mengingat nama Tuhannya lalu senantiasa berhubungan (memandang Allah)." (Al 'Alaa: 14-15).

Prasangka
Hijab paling dahsyat ialah zhan (baca: zon atau prasangka). Disusul hijab "rasa" yang sangat berbahaya dan bisa meruntuhkan benteng keyakinan. Semua itu adalah hijab dalam memandang wujud Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan sangka-sangka, karena sebagian dari sangka-sangka itu dosa." (Al Hujuraat: 12).

Apa yang telah menjadi prasangka kebanyakan orang tentang adanya sesuatu selain Allah, sesungguhnya jauh dari kebenaran. Karena prasangka tersebut, hanya sebuah pandangan atau sebatas persepsi yang sudah melekat erat sesuai alur kehidupan.

"Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (An Najm: 28).

Karenanya, singkirkan segala prasangka dari dalam hati dan pikiran, dengan cara syuhud. Yakni memandang ke-Esa-an wujud Allah melalui basyiratul qalbi (mata hati).

Penyibak hijab
Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi (pandangan mata hati) seperti kaidah yang tertera dalam kitab Addurun Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH "Pandang yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak." Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah: “Tidak aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya.” Itulah kunci-kunci penyibak hijab.

Kunci-kunci tersebut harus dipraktekkan dengan tauhidul af'al, tauhidul asma, tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap zat hakikatnya adalah zat Allah.

Bila semua perbuatan, nama, sifat dan zat telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang disebut akhlakul karimah. Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Sebagaimana terlukis pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas, tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya. Akhlak tersebut tidak dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud.

Acuan syuhud adalah laailaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna: Tidak ada sesuatu apapun selain Allah. Rasulullah bersabda: "Kunci syurga itu laailaha illallah". Disebut kunci syurga, karena syurga bagi orang yang sedang menuju Allah dipahami sebagai syurga dalam arti ma'rifah. Seseorang tidak akan ma'rifah tanpa membuka kuncinya. Kunci itu adalah mengamalkan kalimat laailaha illallah sampai menemukan hakikat fana.

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar Rahmaan: 26-27).

Tatkala sampai pada derajat fana, maka tersibaklah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun sebagai kunci pembuka tirai Ilahi.

Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi syuhud ada dalam rasa. Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa dalam arti esa. Demikian syuhud bagi para arifin billah. Tapi syuhud bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya, hingga tertanam 'ilmul yaqin (keyakinan ilmu).

Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan syua'ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring zikir yang istiqomah. Sehingga muncul inner power atau kekuatan dari dalam diri yang dapat memicu semangat berjalan menuju kepada-Nya. Akhirnya dengan pengamalan syuhud yang benar akan runtuh segala prasangka dan tersingkaplah seluruh hijab.

Menghadirkan Allah
Membiasakan syuhud sekaligus diiringi zikir, ibadah, dan thariqah (tarekat) itu harus dilakukan dengan bimbingan seorang mursyid, yakni seorang pembimbing yang waliyan mursyidan, waratsatul anbiya (pembimbing yang bijak dan benar-benar sebagai pewaris nabi).

Untuk bisa mengamalkan syuhud dengan baik dan benar perlu diiringi dengan zikir. Baik dengan zikir lisan, zikir aqli (akal), zikir qalbi (hati) maupun zikir sirri (rahasia). Juga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar Allah selalu hadir (hudhurullah) di dalam hati, sehingga secara perlahan-lahan akan selalu memandang Allah. Bahkan yang ada dan yang dipandang hanya keelokan dan keagungan wujud Allah.

Hudhurullah adalah membalik kesadaran hamba menjadi kesadaran robbaniyah (ketuhanan). Apabila pandangan hamba menghadap kepada Allah niscaya hilanglah makhluk dan yang tampak adalah wujud-Nya. Sebaliknya apabila pandangan hamba menghadap kepada mahluk, niscaya hilanglah Allah. Dua pandangan tersebut tidak dapat berjalan secara bersamaan.

Untuk memahami hal tersebut harus mengerti istilah “nafi itsbat” dalam kalimat Laailaaha illallah. Lafaz laa adalah nafi, artinya meniadakan. Sedangkan lafaz Ilaaha sebagai manfi, artinya yang ditiadakan. Adapun itsbat-nya adalah lafaz Illa, artinya kecuali. Dan mutsbit-nya adalah Allah. Lafaz Ilaha berarti sesuatu yang dimaknai Tuhan. Sesuatu yang menjadi tuhan, meliputi segala yang dicintai dan disayangi hingga membatu dan berubah jadi berhala dalam hati. Karena itu, dalam kalimat nafi istbat yang harus dinafikan adalah pandangan kepada makhluk. Sebab selama memandang makhluk, tidak mungkin dapat memandang Allah dan untuk dapat memandang Allah, harus fana kemakhlukannya. Allah dan makhluk tidak dapat disatukan juga tak bisa dipisahkan, masalah ini bagaikan keberadaan malam dengan siang. “Semua yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar Rahmaan: 26-27).

Menunggu Warid
Untuk menyibak hijab, seseorang tidak bisa mengandalkan kekuatan dan kemampuan dirinya, melainkan semata-mata dengan kekuatan dan anugerah Allah. Banyak orang yang terhijab dalam memandang Allah, karena belum mendapatkan warid (anugerah) dari Allah. Namun kehadiran anugerah Allah tidak bisa didikte oleh kehendak hamba, melainkan semata-mata karena kehendak-Nya. Seseorang yang berharap dan menunggu anugerah Allah, seyogianya melakukan kaifiat (tata cara) riyadhah dan mujahadah (ibadah dan berjuang) untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Karena itu, apapun usaha yang dilakukan seseorang untuk menyingkap hijab dengan mengamalkan zikir, mengendalikan nafsu, melaksanakan qiyamul lail (sholat malam) dan melakukan riyadhah mujahadah, semua itu tidak lepas dari minnah atau anugerah Allah. Sehingga semua amal ibadah yang dilakukan tetap dikembalikan kepada Allah. Sebaliknya, apabila amal ibadah tersebut disandarkan pada dirinya sendiri, malah menambah hijab. Maka apa pun yang dilakukan, hendaklah dipandang bahwa semua itu adalah warid (anugerah) dari Allah. Perlu dipertegas di sini, bahwa anugerah Allah tidak dapat dicari dengan usaha apapun, melainkan hanya bersandar kepada Allah semata.

Tersingkapnya hijab bagi hamba dalam memandang Allah, karena telah mendapatkan percikan anwar ilahiyah (cahaya Allah). Ketika seseorang telah mendapatkan warid, maka hatinya senantiasa lega dan lapang dalam menghadapi apapun, termasuk sesuatu yang tidak sesuai dengan nafsunya.

Bimbingan Syekh Mursid
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menyibak hijab, yang paling utama adalah kemampuan mengendalikan nafsu, yaitu nafsu yang selalu mengajak ingkar kepada Allah, nafsu yang membenamkan seseorang pada kenikmatan hidup secara syahwati, nafsu yang memalingkan pandangan seseorang pada selain Allah. Di samping itu, juga harus menghilangkan prasangka. Karena prasangka yang muncul dari akal pikiran, biasanya telah tercampur dengan adapt kebiasaan yang berlaku di seputar kehidupannya.

Jika ingin menghilangkan prasangka tentang adanya sesuatu selain Allah, maka harus bisa menerapkan syuhud dengan benar. Tidak ada jalan lain, kecuali dengan sungguh-sungguh mempelajari dan memahami ilmu tauhid yang mukasyafah (terbuka).

Untuk mempelajari ilmu tauhid yang benar, harus mendapat bimbingan dari seorang mursyid, yaitu seorang pembimbing spiritual yang memiliki "mandat ruhaniah" untuk membimbing salikin menuju kepada-Nya. Adalah merupakan anugerah besar bagi seseorang yang telah dipertemukan dengan seorang pembimbing yang demikian, karena hanya dengan petunjuk dan anugerah dari Allah sajalah seseorang bisa dipertemukan dengan mursyid.

Dalam Al Quran telah diisyaratkan bahwa bagi orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah maka akan dipertemukan dengan seorang guru yang mampu membimbing dalam wilayah ruhaniah, yaitu yang disebut Syekh Mursyid yang kamil mukamil (sempurna).

"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang wali yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (Al Kahfi: 17).

Yang dimaksud wali dalam ayat di atas ialah pemimpin spiritual. Pemimpin tersebut adalah orang yang telah mencapai puncak spiritual, mereka itulah yang dikenal dengan gelar Waliyullah atau Arifin billah. Para Waliyullah inilah yang memiliki mandat ruhaniah untuk menjadi mursyid (pembimbing) bagi para penempuh jalan menuju Allah.

Mursyid dalam arti pembimbing bagi orang yang menuju Allah, berbeda dengan ulama yang hanya sebatas memahami ilmu fikih belaka. Juga berbeda dengan para akademisi dan pakar tasawuf yang biasanya hanya sebatas wacana, tidak mengenal apalagi menyelami wilayah ruhaniah yang sesungguhnya.

Dengan memperoleh bimbingan dari seorang syekh mursyid yang kamil mukamil, seorang salik akan terbimbing dalam perjuangan menyibak ribuan hijab yang menghalangi perjalanannya. Ketika hijab kegelapan telah tersingkap, maka cahaya ketuhanan (anwarul Ilahiyah) akan menerobos menerangi hati. Dan nyatalah rahasia-rahasia ketuhanan melalui penglihatan mata hati (bashiratul qalb).

Sumber: Mursyid Akmaliah